Showing posts with label Broken. Show all posts
Showing posts with label Broken. Show all posts

Tuesday, 9 April 2013

Loss, Fear and Medicines

I have recently lost 2 friends in almost a month. Both were community members and had dedicated their lives to the cause. I thought I would be dealing with the situation normally. After all, death is not something unfamiliar for me. But I was wrong...

The first one was a sister. And even though I have already known her condition, the fact that she wasn't ill before went to a coma, struck me so hard. She was a great person whom many women look up to. And her death affected me severely.

I was trying to play it cool. Told myself and everybody that it was the best for her. That she was no longer in pain. She was no longer panting hard every time she walks a few meters. All was good and it was all her destiny. 

I led my life normally, but secretly I have to deal with depression from my loss. It's never easy when your client passed away, but it certainly is hard when it is your good friend. I was (and am) trying to recover myself from the emotional shock that haunts me.

Nearly 30 days after she died, another friend of mine passed away. A brother. For the worst of all, he died during the day and I didn't get the news until late at night. Obviously, I couldn't see him or attend his funeral. He was also a good friend of mine. We spent days of trainings together. Discussing, problem solving, laughing. The last communication I had with him was end of last year. He told me that he was back in Jakarta and we needed to catch up (which we never did).

His death, that I consider so sudden, was like a slap in the face. I was still recovering from the previous loss. Haven't fully recovered yet... When I got the news, it was like I stood by the cliff and somebody pushed me down. I was falling.... I am falling... to a bottomless crack...

On the day he died, another good friend of mine turned 50. And of course, I am happy for him because two of my friends didn't even make it to their 40s. In fact, all of my friends who died were under 40. How...?

And then I have this constant fear creeping in... I am now 38 and not on medications. Will I make it to 40, then? Most of my friends were on medications and yet, they didn't reach the so-called glorious year, 40. When it is "life begins at 40" for others, will it be the contrary for me.... I wonder...

I feel that losing 2 friends in a month is too much to take. And as much comfort my friends gave me, "This is God's will" is not the sort of thing I want to hear. Bullcrap! They were diligently taking their meds! There must be something wrong with the meds here! It is staggering to me to realize how many friends I have lost here in the past 3 years, and yet none of my friends from the developed countries who passed away (apart from those who had heart attack and been murdered). And so, I fear that we have a serious problems with the medicines here. 

But apart from that... I am worried that it will take a long time for me to recover. Maybe I'm weak... or maybe I'm just done playing tough... 



 
Jakarta, 09 April 2013 ~ I'm on the edge.....     

Thursday, 21 February 2013

Jelaga Hati

Aku sedang berada di tepi kesadaran. Semuanya mengabut dan tak jelas. Rutinitas yang hanya itu-itu saja tanpa hasil yang nyata. Terjebak dalam penantian yang seolah tak berujung. Merasa hanya seorang diri berjuang untuk semuanya.... Untuk semua orang... Aku letih... tapi tak Bbisa untuk berhenti. Tak sanggup.... dan bahkan mungkin tak boleh. Terlalu banyak nyawa yang bersandar di punggungku. Padahal aku sendiri tak punya tempat bersandar. Tak ada tempat di mana aku bisa terbaring dengan nyaman tanpa rasa takut. 

Malam-malam panjang ketika aku tak dapat memejamkan mataku meski lelah tubuh sudah mendera. Otakku tak mau berhenti beraktifitas. Tak mau berhenti berpikir, padahal aku tak pernah tahu, apakah orang-orang yang berkeliaran di rongga kepalaku itu semuanya memikirkanku dengan cara yang sama atau tidak. Depresi mengintai, dan aku tahu kapan saja saat-saat ia mengintai untuk merangsek masuk. Lalu pikiran itu datang... "Lepaskan jiwamu yang letih. Biarkan pergi saja... Sudah terlalu lama... Sudah terlalu letih dirimu..." Suara-suara itu menggodaku untuk melakukan hal yang terlalu sering aku alihkan. Hati dan logika berperang. Mereka berdebat untuk mendapatkan perhatianku. Berkelahi untuk mendapatkan keberpihakanku. Tapi aku terlalu letih untuk berpihak...

Lalu aku menengok ke belakang. Mencermati apa-apa saja yang sudah aku lalui. Kehidupanku. Karirku. Percintaanku. Pertemananku. Semuanya... Tapi aku merasa kosong. Aku merasa belum mendapatkan apa-apa dalam hidupku. Aku bukan siapa-siapa. Tak ada yang mau memperjuangkanku. Membelaku. Atau melakukan apa saja demi aku. Hampa. Bahkan cinta pun terasa hambar. 

Cinta.... ah... betapa aku terjebak dalam penantian panjang ini. Aku telah mengusahakan semuanya. Bekerja keras agar semuanya baik-baik saja dan berhasil. Tapi aku merasa hanya aku sendiri yang berjuang. Selalu berjuang untuk mengerti, memahami dan memakluminya. Aku lelah... lelah sekali, tapi aku tak lagi tahu harus berbuat apa. Menagih janjinya padaku? Sudah aku lakukan. Memenuhi janjiku untuknya? Sudah pula aku lakukan. Hanya saja dia belum memenuhi janjinya padaku. Lalu apa yang bisa aku perbuat? Diam. Aku hanya diam. Diam. Dan diam. Lalu aku menunggu. Menunggu. Menunggu. Entah sampai kapan.

Aku membenci pekerjaanku. Ini bukan hal yang ingin aku lakukan. Aku rindu kerja-kerjaku yang lalu. Aku sangat ingin kembali, tapi seolah tak ada yang mau menerimaku. Lalu aku mulai mempertanyakan kemampuanku. Mungkin aku tak sehebat itu. Mungkin semua itu hanya kehebatan semu sesaat. Lalu semangatku pun mulai surut. Saat ini aku tak ingin melakukan apa-apa. Aku hanya ingin menutup diriku rapat-rapat dan bersembunyi di sudut yang gelap. 

Aku menunggu dirinya datang meraihku, tapi ia enggan mengulurkan tangannya kepadaku. Ia begitu sibuk dengan dirinya sendiri. Dengan dunianya yang tak berputar. Dan dengan permasalahan dalam dirinya. Ia tak pernah sadar bahwa aku pun hanya manusia biasa yang kadang perlu direngkuh dan dipeluk saat terjatuh. Tapi ia selalu menganggapku sebagai sosok yang kuat, yang mampu berdiri sendiri tanpa bantuannya. Hingga ketika aku terpuruk, ia terus saja berlalu tanpa menoleh ke belakang...

Yang terberat bagiku adalah mengukir senyum ketika jiwa sudah hancur berantakan. Palsu? Mungkin. Tapi aku tak yakin mereka akan menggubrisku jika aku berurai air mata. Aku hampir yakin mereka hanya akan memandangku, lalu berkata sambil mencibir, "Ternyata ia tak sekuat yang kita kira.... Kasihan..." kemudian berlalu, dan akhirnya melupakan keberadaanku. Atau mungkin menggunjingkan kelemahanku di belakang.

Aku labil. Bahkan ketika depresi sudah memelukku erat dan segenggam obat tidur sudah ada di tangan pun aku masih labil. Haruskah aku telan semua, atau satu per satu? Haruskah aku lakukan ini, atau tidak? Aku labil. Rentan dan labil. Lemah. Tanpa ada tempat bersandar dan berlindung. Aku sudah bosan jadi tempat bersandar bagi orang lain. Kapan giliranku? Lembar demi lembar beban yang aku punya, tak satu pun mampu aku salurkan. Aku tak bisa bercerita. Aku tak tahu kenapa aku tak bisa bercerita. Aku hanya tahu dadaku sesak. Lalu hanya depresi yang setia datang menjenguk dan menemaniku. Kerap kali aku harus mengusirnya. Lalu ia pergi dengan berat hati. Tapi ia selalu kembali. Ia pasti kembali lagi.

When you try your best, but you don't succeed
When you get what you want, but not what you need
When you feel so tired, but you can't sleep
Stuck in reverse....

And the tears come streaming down your face
When you lose something you can't replace
When you love someone, but it goes to waste
Could it be worse?

Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you....

And high up above or down below
When you're too in love to let it go
But if you never try you'll never know
Just what you're worth...

Lights will guide you home
And ignite your bones
And I will try to fix you...

[Jakarta, 21 Feb 2013 - in between depressions]



Wednesday, 7 November 2012

Yang Tertinggal

Pramusaji itu meletakkan secangkir kopi jahe di mejanya. “Danebat…” ujar perempuan itu. Terima kasih. Bar berlantai dua itu tidak terlalu ramai. Perempuan itu duduk di balkon sambil memandang kesibukan di Tamil Street, surga para backpackers. Di mana losmen-losmen murah tersedia dan deretan toko serta bar dengan harga luar biasa murah berada. Perempuan itu singgah di Kathmandu untuk beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanannya ke Pokhara.

Meja-meja dengan menara sheesha. Kepulan asap beraroma manis bercampur dengan asap candu. Momo, makanan ringan dengan isi daging kerbau. Alunan music reggae yang sayup terdengar. Gelak tawa turis-turis yang singgah di Kathmandu sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju Taman Nasional. Kathmandu seperti perawan desa yang tak kenal make-up. Cantik. Lugu. Menarik perhatian. Perempuan itu duduk sendiri sambil menulis jurnal perjalanannya. Sesekali asap rokok mengepul dari bibirnya. Semua orang duduk berkelompok. Hanya dia saja yang duduk seorang diri. Kesendirian adalah teman sejatinya. Sejak kepindahannya ke Johannesburg, perempuan itu seolah memutus komunikasi dengan kehidupan lamanya di tanah air. Setahun telah berlalu dan dia tak pernah pulang sekali pun. Waktu luangnya digunakan untuk bepergian ke negeri-negeri eksotis lain, seperti Nepal.

Perempuan itu boleh saja memutus komunikasi dengan kehidupan lamanya, namun kenangan dalam otaknya tak bisa hilang. Dia masih sering melihat kelebat lelaki itu di dalam kepalanya. Kadang dia seolah melihat lelaki itu di jalanan Johannesburg. Di tengah deretan rumah kumuh di Nairobi. Di dalam subway di Manhattan. Di tepi Danau Jenewa. Di bawah menara Eiffel. Di trotoar Mexico City. Di dekat gedung opera Wina. DI tengah-tengah pasar Quiapo Manila. Di pinggiran jembatan London. Di mana-mana. Wajah lelaki itu seolah mengikuti kemana pun dia pergi. Lalu apa gunanya memutus kontak, jika abstraksinya tetap membuntuti? Kemana pun dia pergi, wajah lelaki itu tertinggal dalam pikirannya.

Empat jam berlalu sudah. Perempuan itu merapatkan jaketnya. Kathmandu di bulan November dipenuhi dengan hawa dingin. Musim dingin yang kering dan berdebu. Perempuan itu membayar gelas-gelas kopi jahenya lalu beranjak pergi. Menyusuri jalan sempit di Tamil Street yang gempita dengan nyala lampu dan deru genset. Melewati toko-toko kecil penuh warna, lalu berbelok menuju losmen tempatnya menginap. Sudah cukup dia berada di luar, di tengah dinginnya malam. Kini waktunya kembali ke kamar. Esok perempuan itu harus terbang menuju Pokhara.

**
Lelaki itu turun dari sebuah bar dengan lintingan candu di tangannya. Salah satu candu terbaik di dunia. Begitu dia selalu mendengar. Kakinya menyusuri jalanan sempit itu. Pikirannya melayang kepada sosok yang telah lama hilang dari hidupnya. Tidak. Perempuan itu bukan mati. Dia hanya menghilang. Tak bisa ditelusuri keberadaannya. Perempuan itu seperti menguap di udara. Puluhan email telah dikirimkannya. Semua kembali ke kotak masuknya dengan pesan yang sama; Mail Delivery Returned – user unknown. Frustrasi telah mulai merasuki jiwanya. Sudah lewat setahun, dan perempuan itu masih berada di luar jangkauannya.

Hawa dingin mulai menyerang. Angin malam itu cukup kencang. Lelaki itu merapatkan jaketnya lalu memasukkan satu tangannya ke dalam saku. Candu itu tak banyak membantunya menghangatkan tubuhnya malam itu. Jalan sempit yang ramai itu sungguh menarik. Penuh dengan manusia dari berbagai ras dan warna. Tiba-tiba di kejauhan lelaki itu melihat kelebat sosok yang sangat dikenalnya. Dia terhenti sejenak. Seolah tersentak dan mencoba memastikan bahwa matanya tidak sedang melakukan tipuan optik. Perempuan itu merapatkan jaketnya, lalu mulai berjalan. Lelaki itu hampir yakin bahwa itu adalah sosok yang selama ini dirindukannya. Rambutnya sudah panjang, tapi lelaki itu hafal setiap gerak-geriknya. Bahasa tubuhnya. Caranya berjalan. Semuanya. Dia pun bergegas melangkah cepat-cepat, mencoba mengejar sosok di kejauhan itu. Namun sosok perempuan itu hilang ditelan kerumunan turis yang datang dari arah berlawanan. Lelaki itu mencari dan mencari, namun sosok itu seperti hilang ditelan gelapnya malam dan dinginnya angin yang bertiup di tengah Tamil Street. Hanya bayangannya saja yang tertinggal….

Sunday, 4 November 2012

Yang Tersembunyi [the ending]



Perempuan itu mengemasi barang-barangnya. Dia bolak-balik memeriksa telepon genggamnya. Tidak terkirim semua….” Keluhnya dalam hati. Lalu ia meneruskan pekerjaannya hingga semua barangnya rapi dalam 2 buah koper besar. “Africa, here I go…” ujarnya lagi dalam hati. Lelaki itu belum juga menerima pesan-pesannya. Semua pesan yang dikirimnya berakhir dengan tanda silang, tak terkirim. Perempuan itu menghela nafas lalu duduk di tepi tempat tidur.

Sudah tiga minggu ini dia mencoba menghubungi lelaki itu namun tampaknya dia sangat sibuk dengan pekerjaannya. Dia sedang ditugaskan ke luar daerah. Sebuah daerah terpencil yang sepertinya tidak terjamah koneksi internet, bahkan signal telepon seluler pun tak mudah diterima. Perempuan itu bimbang. Dia harus berangkat malam itu menuju sebuah negeri yang jauh, di mana pekerjaan telah menantinya dan dia belum sempat memberitahu lelaki itu. Semuanya terjadi begitu cepat. Email yang menyatakan dia telah diterima bekerja di negeri jauh itu datang kurang lebih tiga minggu yang lalu, hanya selang sehari setelah keberangkatan lelaki itu. Dua minggu kemudian perempuan itu telah mengantongi tiket dan visa kerjanya untuk berangkat malam ini. Sudah puluhan bahkan mungkin ratusan pesan singkat yang dikirimkannya kepada lelaki itu, tapi tak satu pun yang terkirim. Perempuan itu tak tahu apa lagi yang harus dilakukannya.

Perempuan telah memutuskan untuk menerima pekerjaan itu agar dia bisa belajar melupakan lelaki itu. Lelaki yang didambakannya, namun hatinya sepertinya telah diberikan kepada perempuan lain. Meski demikian, dia tak ingin pergi tanpa pesan. Pesan terakhir untuk lelaki itu. Pesan yang paling penting yang harus disampaikannya…

Akhirnya perempuan itu membuka laptopnya. “Katakan apa yang kamu rasakan untuknya… Tuliskan, lalu kirimkan untuknya…” ujarnya dalam hati, mengulang saran yang pernah diberikannya kepada lelaki itu. Saran yang seharusnya ditujukan kepada dirinya sendiri. Saran yang seharusnya dilakukannya sendiri sejak lama. Lalu dia mulai mengetik…

**
Lelaki itu turun dari taksi yang membawanya dari lapangan udara. Dia masuk ke kamarnya dan segera membongkar tas ranselnya untuk mengeluarkan laptopnya. Tiga minggu lebih dia berada di tempat yang tak tersentuh koneksi internet, tak ada signal telepon seluler. Dia benar-benar terputus komunikasi dengan dunia luar. Dengan perempuan itu… Bergegas lelaki itu menyalakan laptopnya. Telepon selulernya tak menunjukkan tanda-tanda adanya pesan masuk.

Ketika membuka kotak surat masuknya, dia mendapati nama perempuan itu telah ada di kolom pengirim. Segera dibukanya email dari perempuan itu dan mulai membacanya….

From: larasati@gmail.com
Subject: Itu aku…

Hey, kamu…
Ya, kamu yang tiga minggu sudah berada di luar jangkauan. Kamu mungkin berada di luar jangkauan koneksi internet dan signal telepon seluler selama tiga minggu, tetapi kamu sudah berada di luar jangkauanku selama lebih dari dua tahun….

Aku hanya ingin sampaikan kepadamu bahwa aku sudah berangkat ke Afrika untuk sebuah pekerjaan yang memang aku inginkan. Bukannya aku ingin pergi tanpa memberitahu kamu, tapi sudah banyak pesan singkat yang aku coba kirimkan kepadamu dan gagal terkirim. Bukan salahmu…

Anyway, kamu masih ingat ketika aku menyarankan kamu untuk mengungkapkan perasaanmu kepada perempuan yang kamu sukai? Sejujurnya, aku mungkin lebih membutuhkan saran itu daripada kamu. Aku. Ya, aku… Kamu selalu mendengar tentang sesosok lelaki yang aku sayangi selama ini. Sosok yang membuatku terjaga hampir setiap malam. Sosok yang aku inginkan untuk memelukku dari belakang ketika melihat pemandangan di puncak gedung. Sosok yang akan aku bohongi ketika hawa di gunung mulai dingin hanya agar dia memelukku. Sosok yang aku khayalkan memelukku sambil bersama-sama menikmati butiran hujan yang jatuh. Sosok yang selalu aku katakan kepadamu bahwa sepertinya hatinya sudah diberikan kepada perempuan lain. Kamu ingat? Aku hanya ingin mengatakan kepadamu bahwa sosok itu adalah kamu…

Ya, lelaki itu kamu… tapi aku tahu kamu sedang menunggu perempuan lain. Maka aku rasa menjauh darimu adalah hal terbaik yang harus aku lakukan, karena aku tak tahu apakah aku mampu menahan diri dan perasaanku jika suatu saat nanti kamu akhirnya mengenalkan perempuan itu kepadaku. Memang aku bersikap biasa saja dengan semua pacarmu. Tapi itu dulu, kali ini aku tak yakin aku mampu seperti itu lagi. Maka sebelum semuanya berubah menjadi aneh dan tak nyaman, aku memilih pergi. Maafkan aku… Aku menyayangi kamu, tapi “mencintai tak harus memiliki” tak pernah ada dalam kamusku. Denganmu, aku tak sanggup jika tak memiliki tapi harus berdekatan. Pergi adalah jalan terbaik untuk kita berdua. Aku memang pengecut. Hanya berani memendam rasa dan kemudian pergi darimu. Tapi aku tidak ingin merusak kebahagiaanmu bersama perempuan itu. Semoga kamu bisa berbahagia dengannya, siapa pun perempuan yang sedang kamu tunggu itu… Aku setulusnya berharap kamu bahagia, tapi maafkan jika aku tak punya cukup kekuatan untuk terus menjadi temanmu… Semoga kamu dapati hati yang tulus mencintaimu, meski bukan aku....

Terima kasih untuk segalanya….

- Aku

PS: Ingat lagu yang terselip dalam amplop di bukumu? Itu juga aku…


**
Lelaki itu tertegun. Matanya tak lepas menatap layar laptopnya. Dibacanya email itu berulang kali hanya untuk memastikan apakah dia tak salah baca. Isinya tetap sama. Perempuan itu… Dia telah salah sangka selama ini!

Lelaki itu dengan segera menekan tombol “Reply” lalu mulai mengetik…

To: larasati@gmail.com
Subject: RE: Itu aku…

Hey, kamu…
Kamu mungkin tidak tahu sekaget apa aku membaca emailmu… Tentu aku masih ingat saranmu tentang mengungkapkan perasaan kepada perempuan yang aku sayangi. Dan seharusnya memang aku melakukannya sejak dulu, tak perlu menunggu terlalu lama seperti ini, karena perempuan itu adalah kamu! Kamu lah yang aku tunggu… Aku tak pernah yakin dan aku selalu mengira kamu menginginkan lelaki lain. Maafkan aku yang terlalu lama menunda…

Kamu lah perempuan yang ingin aku peluk ketika kita berada di atas gedung tinggi itu. Kamu yang ingin aku rengkuh saat kita ada di bukit itu. Kamu, kamu dan hanya kamu…. Aku lah yang mengirim lirik lagu itu dan menyelipkannya di dalam daily planner-mu. Aku juga yang mengirimkan lagu kesukaanmu itu lewat akun email anonim. Kamu tidak tahu... Aku tidak tahu… Kita sama-sama tidak tahu, tapi biarkan aku menunggumu kembali, asalkan kamu kembali kepadaku. Aku pasti akan menunggumu. Maafkan aku… aku sayang kamu…

Yours,
- Aku –

**
Lelaki itu menekan tombol “Send”. Perasaannya campur aduk. Ada senang, sedih dan kaget. Senang karena ternyata perempuan itu memiliki perasaan yang sama dengannya. Sedih karena sekarang perempuan itu telah berada di negeri yang sangat jauh. dan kaget karena tak menyangka bahwa apa yang dirasakannya ternyata sama dengan apa yang dirasa perempuan itu.
Tiba-tiba terdengar bunyi email notification di laptopnya. Lelaki itu membuka kotak masuk emailnya….

Mail Delivery Returned – user unknown
It looks like you have sent an email to an unknown user or an inactive email account. Please, check the address and make sure you have put the correct email address.

--- THE END ---

Yang Tersembunyi VI


Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang di senja yang cerah. Lelaki itu di balik kemudi. Perempuan itu di sampingnya sibuk memilih lagu.

Lelaki: Jadi, mau kemana kita?
Perempuan: Kemana saja.
Lelaki: Klasik sekali jawabanmu.
Lelaki itu menjawab sambil tertawa kecil.
Perempuan: Kemana saja… asal tempat yang tinggi.
Lelaki: Gedung atau gunung?
Perempuan: Bebas.
Lelaki: Oke…

**
Dua orang itu duduk di atap sebuah gedung berlantai 56. Memandang senja yang turun di kota itu. Matahari terlihat sangat dekat, warnanya menjingga. Langit mulai mengeluarkan semburat warna lembayung. Keduanya duduk dalam diam. Angin senja bertiup kencang di puncak gedung itu.

Perempuan itu beranjak berdiri. Wajahnya terlihat kesal bercampur sedih. Lelaki itu ikut berdiri di sampingnya, lalu menoleh, menekuri wajah perempuan itu.

Lelaki: Kamu kenapa?
Perempuan itu menghela nafas panjang.
Perempuan: Pemandangannnya bagus ya? Senjanya juga indah…
Ujarnya dengan pandangan menerawang jauh. Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah kota yang terhampar. Lalu menghela nafas juga.
Lelaki: Iya…
Perempuan: Nyaris sempurna….
Gumam perempuan itu. Lelaki itu menoleh sejenak,
Lelaki: Nyaris?
Tanyanya sebelum kembali memandangi hamparan gedung yang mulai menyalakan lampu-lampunya.
Perempuan: Iya. Nyaris.
Lelaki: Kenapa “nyaris”…?
Perempuan itu kembali menghela nafasnya dengan berat… Lalu terdiam sejenak. Seolah ragu dengan apa yang hendak diucapakannya.

Lelaki: Kenapa?
Perempuan: Hmm? Ah… karena tidak ada yang memelukku saat menikmati keindahan ini…

“Tapi aku di sini… aku mau memelukmu sambil menikmati semua ini… Kamu benar, begitu baru sempurna…” Lelaki itu membatin.

Lelaki: Hmmm…. Aku bisa mengerti…. Aku juga merasakan hal yang serupa.
Perempuan: Oya?
Lelaki: Iya… Andai aku bisa memeluknya sekarang… Tentu semuanya sempurna….

“Tapi aku di sini… Kamu bisa memelukku!” jerit perempuan itu dalam hatinya.

Lalu keduanya kembali jatuh dalam keheningan, seiring langit senja yang menua dan matahari yang semakin meredup. Lampu-lampu kota sudah hampir semua menyala. Lelaki itu dengan angannya. Perempuan itu dengan mimpinya. Berdua mereka menikmati hamparan lautan lampu di hadapan mereka. Dalam hati mereka saling memeluk dan tangan-tangan mereka saling bertaut…


[Jakarta, 4 November 2012]

Yang Tersembunyi V



Perempuan itu duduk memandang hujan yang menetes deras seperti tangisan malaikat di langit. Hawa sejuk menyergapnya. Dia memejamkan matanya mencoba meresapi suara air yang jatuh dan aroma tanah basah yang segar. Tempat itu jauh dari keramaian. Sunyi dan damai. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Dibukanya kembali matanya, dan kabut tipis menyambut pandangannya. Dia dalam kesendiriannya yang sesak. Hening yang pekak. Pekak oleh berbagai abstraksi yang mondar-mandir dalam rongga kepalanya. Perempuan itu memejamkan lagi matanya…. Lalu tiba-tiba dirasakannya sepasang lengan memeluknya dari belakang. Hangat. Dia tersenyum.

Sosok: Hai…
Dia: Hai…
Sosok: Sedang apa kamu?
Dia: Menikmati hujan…
Sosok itu mengecup kepalanya.
Sosok: Dingin?
Dia: Sedikit…
Sosok itu mengeratkan pelukannya. Perempuan itu menyandarkan kepala di dadanya yang bidang.
Sosok: Aku ingin kita seperti ini terus…
Dia: Aku juga…
Sosok: Aku sayang kamu…
Dia: Aku juga…. Tetap di sini denganku…
Sosok: Selalu…

Kehangatan menjalari hati perempuan itu. Jiwanya mencair dalam pelukan sosok itu… Indah dan damai…

***
Lelaki itu duduk memandang hujan sambil mengisap rokoknya. Hujan deras, udara mengabut. Dingin. Angin sejuk menerpa wajahnya, dia memejamkan matanya, mencoba menikmati suasana yang hening di sekelilingnya. Sejurus kemudian dia mengulurkan tangannya, tetes-tetes air hujan jatuh di atas telapak tangannya lalu mengalir cepat lewat sela-sela jemarinya. Tak lama kemudian sosok itu datang, dan dia merapatkan jemari tangannya yang terbuka hingga telapaknya membentuk ceruk. Air hujan pun tertampung membentuk kolam kecil.

Sosok: Kalau jemarimu terbuka, airnya akan jatuh ke tanah. Tapi jika kau rapatkan, dia akan tinggal di telapakmu. Jangan pula kau kepal, karena itu justru akan membuang semua yang tertampung di telapakmu.
Dia: Seperti cinta….
Sosok: Ya… seperti cinta… Makin kuat kau menggenggamnya, makin cepat dia pergi…
Dia: Jika kau tampung dia, maka makin lama dia berada di telapakmu…
Sosok itu menoleh dan tersenyum. Lalu mengeluarkan sapu tangan dan mengeringkan tangan lelaki itu. Digenggamnya tangan yang sudah kering itu. Lelaki itu menarik tangan mereka yang saling terpaut. Sosok itu mendekat, lalu duduk di sampingnya. Lelaki itu merangkulnya erat. Sosok itu melingkarkan lengannya di pinggang si lelaki, lalu merebahkan kepalanya di bahunya.

Dia: Dingin?
Sosok: Sedikit…
Lelaki itu mengeratkan rengkuhannya sambil menggosok lembut lengan sosok itu.
Sosok: Aku ingin kita seperti ini terus….
Dia: Aku juga…
Sosok: Kenapa baru sekarang?
Dia: Aku selalu menunggumu…
Sosok: Terlalu lama.
Dia: Maafkan….
Lelaki itu mengecup kening sosok itu.
Sosok: Aku sayang kamu…
Dia: Aku juga…
Sosok: Jangan pergi dariku…
Dia: Tidak akan…

Lelaki itu memejamkan matanya, mengeratkan pelukannya. Sosok itu mengeratkan lingkaran lengannya di tubuh si lelaki. Berdua, mereka larut dalam kesunyian. Jiwa-jiwa yang dulu hampa, kini terisi sudah.

***
Suara petir mengagetkan perempuan itu.
Suara petir mengagetkan lelaki itu.
Perempuan itu membuka matanya.
Lelaki itu membuka matanya.
Hujan masih turun dengan deras. Hawa masih dingin. Cuaca masih mengabut. Keduanya masih sendiri… Tak ada lengan yang melingkar. Tak ada sosok yang hangat. Tak ada siapa-siapa…


[Jakarta, 4 November 2012 - Hujan deras di siang yang kelabu]