Showing posts with label reflection. Show all posts
Showing posts with label reflection. Show all posts

Thursday, 1 June 2017

Hate The Country, Love The Nation

Mengamati hingar bingar nasionalisme di hari lahir Pancasila kemarin, saya jadi berpikir sendiri... Saya ini [sudah] tidak nasionalis [lagi]. Nasionalisme saya sudah mati beberapa tahun yang lalu. Saya merasa seperti dijodohkan sejak lahir dengan pasangan yang merupakan pelaku kekerasan. Sudah lama saya merasa diperkosa secara politis dan kemudian patah hati pada negara ini.

Kenapa saya bilang bahwa saya dan Indonesia serasa berpasangan dengan pelaku kekerasan? Karena saya harus bergantung kepadanya dalam banyak hal, diberi banyak aturan dan batasan yang harus dituruti. Seperti kata salah satu "anak" saya, bersatu digebuki, bercerai ditembaki sampai mati. Saya diharuskan memuja pasangan saya, jika saya menjelek-jelekkannya akan berbuah pada pemidanaan. Tidak cuma pasangan saya yang tidak boleh dijelek-jelekkan, tapi juga "keluarganya". Jika saya menghina, mengkritisi, menjelekkan anggota keluargnya, saya akan dikenai pasal subversif! Saya juga dininabobokan dengan berbagai cerita heroik yang ternyata penuh kebohongan dan propaganda saja. Semuanya dibuat untuk menutupi kebenaran dan kebusukan yang sesungguhnya. Dan ketika saya mempertanyakan dan ingin mengklarifikasi cerita-cerita itu, saya justru ditampar dan dituduh pro-komunis. 

Saya juga tidak dinafkahi. Saya harus mengurus sendiri semua kebutuhan sehari-hari saya dari mulai belanja hingga kesehatan dan sekolah. Baru-baru saja sekolah anak saya digratiskan. Sebelumnya? Boro-boro. Alih-alih dinafkahi, saya justru diporoti habis-habisan. Saya harus menyetorkan sebagian dari gaji saya, membayar asuransi kesehatan, memberikan bagian untuk properti yang saya miliki baik itu rumah, apartemen ataupun kendaraan. Dia? Hanya ongkang-ongkang kaki, main gitar sambil mengumbar janji bahwa saya akan diberi fasilitas yang memadai karena sudah berkontribusi di dalam "rumah tangga" kami. Bahkan untuk urusan kesehatan pun saya harus membayar sendiri.

Saya diberikan rasa aman dan kebebasan semu. Pasangan saya punya banyak body guard yang siap membelanya mati-matian dan membabi buta. Katanya, saya juga akan diproteksi oleh body guard-nya ini, tapi faktanya saya justru lebih sering merasa terintimidasi dengan keberadaan mereka. Begitu pun tentang kebebasan. Saya selalu diberi tahu bahwa saya punya kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaan apapun yang saya yakini. Katanya, saya juga punya kebebasan berpendapat dan bersuara. Lalu, saya juga disebutkan punya kebebasan untuk memilih kelompok yang ingin saya jadikan teman. Tapi nyatanya, semua itu semu saja. Ketika saya memilih keyakinan saya sendiri, saya disalahkan. Dicaci, dianggap tidak sejalan dengan pasangan saya. Ketika saya menyuarakan pendapat saya yang berbeda karena saya menginginkan kesetaraan dan keadilan, saya dianggap membangkang dan patut diberangus. Lalu, soal kelompok pertemanan, saya boleh-boleh saja berteman dengan banyak orang, asalkan yang satu visi dengan pasangan saya. Begitu saya memilih kelompok teman yang berbeda, saya lagi-lagi dicap pembangkang dan dianggap ingin mengangkangi pasangan saya. Jadi definisi "diberi rasa aman" adalah dengan menuruti apa kata pasangan saya. Jika saya menurut, maka hidup saya akan aman. Definisi "kebebasan berpendapat dan bersuara" menurutnya adalah dengan membicarakan apa yang ingin dia dengar saja. Saya bebas menyuarakan hal yang sama dan hal-hal yang ingin dia dengar. Soal teman pun begitu, saya bebas berteman dengan orang-orang dan kelompok yang dipilihkan untuk saya. Dafuq, man?

Saya akhirnya patah hati pada negara ini. Saya tidak percaya lagi padanya. Tidak percaya pada sistem yang dulu dia kenalkan kepada saya dan disebutkan akan melindungi saya serta mensejahterakan saya. Mana buktinya? Kalau saya sekarang sejahtera, that is because I work my freakin' ass off! Bukan karena pasangan saya yang mensejahterakan saya. Sama sekali tidak! Saya tidak pernah merasa menerima fasilitas apapun dari pasangan saya kecuali status kebersamaan kami yang dibuktikan dengan diberikannya KTP dan Paspor untuk saya. Itu saja! 

Di sekretariat kolektif tempat saya bermain dan berdiskusi, dulu sering ada seorang laki-laki yang dianggap kurang waras. Dia sering meracau, bicara tentang negara dan nasionalisme. Bicaranya melompat-lompat tak karuan tapi selalu berapi-api untuk berdiskusi dengan kawan-kawan di sana. "Dia itu kenapa sebenarnya?" tanya saya suatu hari kepada salah satu kawan, "Patah hati dengan negara ini..." jawab kawan saya dengan nada prihatin. Astaga! Saya tidak mau seperti dia yang telah meletakkan semua rasa cinta dan kepercayaannya di tangan negara lalu kemudian dikhianati habis-habisan hingga hampir gila!

Maka jika sekarang saya tidak lagi punya rasa untuk pasangan saya, itu bukanlah tanpa sebab. Setelah bertahun-tahun mengalami kekerasan dan perkosaan, saya pun akhirnya muak. Saya cinta bangsa dan negeri ini, tapi saya muak dengan sistemnya. Hate the country, love the nation. Apakah saya salah?








Tuesday, 17 September 2013

Kamu Kok Kampungan, Ra...?



Perempuan muda itu duduk di hadapanku di sebuah resto pizza. Perutnya membuncit karena ia sedang hamil 7 bulan. Bahunya naik turun karena sedu sedan yang keluar dari tangisnya, sementara di tangannya ia memegang selembar kertas. Orang-orang mencuri pandang ke arah kami. Bertanya-tanya apa gerangan yang sedang berlangsung antara kami. Dee, perempuan itu mendongakkan kepalanya, ada 2 jalur air mata di pipinya. Ekspresi wajahnya campur aduk antara sedih dan marah. 

“Ini serius, Ra???” tanyanya padaku. Aku menghela nafas, “Ya serius lah Dee… masa gue bohong soal begituan?” ujarku padanya. Dee kembali menekuri lembar kertas di tangannya. “Terus? Lu mau gimana sekarang? Lu harus labrak dia, Ra! Bajingan itu…. Kurang ajar!!!” Dee kembali tersedu-sedu. “Sssttt…. Jangan keras-keras, Dee! Lu lagi hamil besar, duduk di sini sambil nangis kayak gitu. Nanti orang kira apa pula! Udah ah! Sini, mana hasil tesnya? Kita makan aja sekarang.” Kataku padanya sambil merebut lembar hasil tes HIV dari tangannya. Dee mengusap air mata di pipinya, lalu mulai makan sambil merengut. 

“Lu seharusnya marah, Ra! Lu seharusnya datangi rumahnya terus labrak dia. Labrak keluarganya sekalian! Enak aja dia udah nularin lu terus nggak diapa-apain!” Dee masih saja penuh emosi. Aku lagi-lagi menghela nafas… “Dengar ya Dee, buat apa gue marah-marah sama dia? Buang-buang tenaga dan waktu aja. Kalau gue ikuti kata-kata lu tadi, gue datangi dia terus gue labrak dia habis-habisan, apa itu semua akan mengubah status gue jadi negatif lagi?” aku mencoba menuntun logikaku pada Dee. “Ya nggak sih….” Ujarnya, “Nah! Terus apa yang gue dapat dong? Capek aja ‘kan?” imbuhku. Dee masih makan sambil merengut namun tak membantah argumenku.

Aku mengerti perasaan Dee. Sebagai sahabat, Dee marah dan sedih atas apa yang menimpaku, namun melabrak mantan suamiku bukanlah solusi. Dee dan aku sudah berteman cukup lama; dan dia berhak tahu atas kebenaran yang ada. Aku mengidap HIV. Hari ini, 15 Mei 2006 aku mengetahuinya. “Dee, gue ngasih tahu lu soal hasil tes ini karena lu adalah sahabat gue dan lu berhak tahu. Kalau setelah ini lu nggak mau berteman lagi sama gue, gue bisa ngerti kok…. Tapi yang penting, gue udah jujur sama lu.” Aku masuk ke bagian utama mengapa aku mengajaknya makan siang hari ini. Mendengar penjelasanku Dee berhenti makan, “Sudah deh! Masa gue nggak mau temenan sama lu lagi hanya gara-gara status HIV lu itu? Please deh, Ra…” Aku hanya mengangkat bahu, “Gue cuma mau minta tolong satu hal aja sama lu, Dee…” sambungku. “Apaan tuh?” tanyanya sambil menyuapkan potongan pizza terakhir di piringnya. “Kalau ada yang tanya soal status gue, lu bilang apa adanya ya? Tapi kalau nggak ditanya, lu nggak usah ngomong apa-apa…” Dee menghela nafas, lalu mengangguk. Entah kenapa ia terlihat jauh lebih sulit menerima kenyataan ini dibandingkan aku, yang notabene mengalami semuanya sendiri. Dee lalu berusaha mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Bukan untuk menjaga perasaanku, tapi untuk menjaga emosinya sendiri. Aku mengerti. Dan aku masih punya sederet nama yang harus aku beritahu…

Setibanya kembali di kantor aku mengirim pesan singkat kepada beberapa temanku yang lain: Eddoy, Dusy, Eko dan Bimbim. “Karena lu sahabat gue, gue merasa lu berhak tahu bahwa gue baru aja tes dan gue mengidap HIV. Kalau setelah lu tahu tentang status gue ini, lu nggak mau berteman lagi sama gue, gue bisa ngerti….” Pesan singkat dengan isi yang serupa itu aku kirimkan bersamaan. Lalu aku lupakan. Aku tak menunggu jawaban ataupun tanggapan dari mereka. Tak perlu….

Keesokan harinya giliran teman-teman sekantorku yang aku beritahu. Nenon, sekretaris departemenku, lalu Reza & Diana, Sales Executive hotel tempatku bekerja. Kami makan siang bersama di Braga CityWalk. Lalu aku membuka pembicaraan dengan kalimat yang sama, “Aku rasa kalian berhak tahu ada kejadian apa. Kemarin waktu aku ambil izin setengah hari, sebenarnya aku pergi untuk tes HIV…. Dan hasilnya positif….” Ujarku sambil menyuap nasi ke mulutku. Nenon, Reza dan Diana serta merta menghentikan kegiatan makan mereka dan menatapku. “Mbak Ra…. Kok bisa….?” Reza lah yang pertama memecah kebisuan. “Mantan suamiku, Za. Dia kan dulunya pengguna napza suntik…” ujarku tenang. “Ya ampun Mbak… tapi… kok Mbak nggak…” Diana tidak melanjutkan kalimatnya. “Nggak kelihatan sakit?” sambarku sambil tertawa, “Nggak semua yang mengidap HIV itu terkapar di tempat tidur, Di… ternyata perlu waktu cukup lama untuk sampai ke fase itu.” Imbuhku. “Aku…. Aku kaget banget Mbak… Soalnya aku belum pernah punya teman yang mengidap HIV. Kalau dengar soal HIV-nya sih aku sudah sering…” Nenon akhirnya bersuara. “Tapi Mbak nggak apa-apa ‘kan? Maksudku, kondisi Mbak Ra masih bagus ‘kan?” tambahnya cepat-cepat. “Yaaa seperti yang kalian lihat sendiri ini. Aku masih sehat!” aku menjawab ringan, berusaha melelehkan ketegangan yang ada. “Sudah ah! Aku ngasih tahu kalian ‘kan tujuannya untuk keterbukaan dan kejujuran, jadi jangan jadi tegang gitu dong. Tapi… kalau setelah ini kalian memutuskan untuk nggak mau kenal sama aku lagi, aku bisa ngerti lho…” selalu aku tutup dengan kalimat itu, agar semua orang tahu bahwa aku mampu berlapang dada menghadapi segala resiko dari keterbukaanku ini. “Aduh Mbak… segitunya…” ujar Reza yang disambut oleh pernyataan yang sama dari Nenon dan Diana. Dan siang pun berlalu sebagaimana siang-siang sebelumnya. Seolah tak pernah ada percakapan tentang status HIV-ku. Normal saja seperti hari-hari lainnya.

Sore harinya sepulang kerja aku bertemu dengan Dee di BSM. Kami akan makan malam bersama sambil bergosip tentang tempat kerja masing-masing. Ketika sedang window shopping dengan Dee, tiba-tiba telepon selularku berdering. Eddoy.
“Ra, lagi di mana lu?”
“Di BSM, Doy… sama Dee nih…”
“Nanti gue, Dusy sama Eko nyusul ke sana ya? Sebentar lagi selesai kerja kok…”
“Okay… ditunggu yaaa….” Lalu aku memutuskan sambungan dan menoleh kepada Dee. “Eddoy, Dusy sama Eko nanti mau nyusul ke sini.” Kataku. “Oya? Asyiknyaaa… kita jadi punya tebengan pulang! Hahaha!” Dee berkata dengan sembarangan. Lalu kami pun meneruskan berjalan sampai ke pujasera di lantai paling atas. Dee tampak berusaha keras untuk bersikap santai. Agaknya ia masih sulit mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi, tapi ia selalu berusaha menghindar dari topik HIV atau kesehatan. 

Sekira 30 menit kemudian ketiga sahabatku datang dengan wajah sumringah. “Halo Ra!” sapa mereka. Seperti biasa kami saling mencium pipi kiri dan kanan, lalu mereka duduk bergabung dengan aku dan Dee. Setelah mengobrol kesana kemari tanpa topik yang jelas, akhirnya Eddoy mengusulkan agar kami makan malam di Kafe Halaman saja karena suasananya jauh lebih enak. Kami pun setuju dan segera beranjak berdiri. “Rara sama Dee ikut Eko aja pakai mobil.” Perintah Dusy, kami berdua menurut. Namun ketika berjalan ke area parkir, aku merasakan ada sedikit keganjilan. Eddoy, sangat aktif mengajakku bicara, sementara Dee berjalan di depan kami diapit Dusy dan Eko. Tak lama kemudian, Dusy berhenti untuk menungguku lalu berjalan di sebelahku, sementara Eddoy berjalan cepat mengejar Dee dan Eko. Lagi-lagi Dusy sangat cerewet dan menggodaku seperti biasanya. Belum lagi tuntas candaku dengan Dusy, Eko sudah menghampiri dan merangkul bahuku sambil berjalan. Dia lalu mulai berceloteh tentang gadis-gadis yang sedang didekatinya sampai akhirnya kami tiba di mobilnya. 

Suasana Kafe Halaman malam itu tidak terlalu ramai. Setelah memesan makanan dan minuman, kami pun mulai mengobrol seperti biasa sampai pada akhirnya Eddoy buka suara, “Ra, itu SMS lu beneran?” Aku memutar bola mataku, “Buset dah, Doy… Ngapain sih gue bohong?” ujarku. “Ya nggak… maksudnya, lu beneran nyangkain kita nggak mau temenan lagi sama lu setelah tahu status lu?” jelas Dusy. “Laaaah gue ‘kan harus siap dengan segala resiko dan konsekuensinya doooong! Prepare for the worst, hope for the best!” balasku. Mereka semua tertawa. “Sebenernya tadi di BSM mereka ini tanya sama gue, Ra… tapi gue bilang ya tanya langsung aja sama lu. Kenapa juga harus ke gue?” imbuh Dee. “Yaaaa ‘kan nggak apa-apa Dee… cross check aja.” Eko yang tertua di antara kami angkat bicara. “Tapi lu itu bener-bener ya, Ra….” Kalimat yang keluar dari mulut Eddoy menggantung begitu saja. “Bener-bener apaan, Doy?” sanggahku. “Bener-bener kampungan lu, Ra! Masa lu ngira kita pikirannya sedangkal itu sih? Gila lu ya?” sambar Dusy sambil tertawa-tawa. Aku ikut tertawa bersama mereka. “Nggak lah, Ra…. Nggak segitunya! Santai aja…” dan kami pun melewatkan malam itu seperti halnya malam-malam akhir pekan lain. Tertawa, bergosip, mengerjai Dee dan saling mencela sebagai sahabat.

Selang beberapa hari kemudian, ketika aku sedang di kantor tiba-tiba telepon selularku berdering. Bimbim. Sahabatku yang satu ini sejak beberapa tahun terakhir ini tinggal di Yogyakarta. Pasti dia sudah baca pesan singkatku. Tak seperti teman-temanku yang lain, ia butuh beberapa hari untuk merespon, maka aku mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Ada sedikit kegentaran dalam hatiku ketika memikirkan kemungkinan terburuk yang menantiku. Bimbim berbeda dengan teman-temanku yang lain. Bentuk persahabatan kami unik dan dipererat dengan kesukaan kami pada mobil VW. Bimbim adalah seorang pembalap dan lucunya, ayahnya dulu adalah dosen ayahku di Fakultas Seni Rupa ITB. Banyak hal yang menjadi penghubung dalam pertemanan kami berdua. Aku rasanya tidak siap jika harus kehilangan dia… tapi aku harus berani menghadapi kemungkinan terburuk yang menjadi hasil dari keputusanku sendiri.

“Halo Bimski….” Sapaku dengan tengil. Biasanya Bimbim selalu protes kalau aku memanggilnya ‘Bimski’.
“Hai Ra…. Lagi di mana?” terdengar suaranya yang berat dengan sedikit sentuhan logat Jawa di ujung sana. Khas Bimbim. Tapi kali ini terdengar lebih serius dari biasanya dan ia tidak protes dengan panggilan ‘Bimski’.
“Di kantor, Bim. Kenapa?”
“Nggak. Nggak apa-apa. Aku ganggu nggak?” tidak seperti dengan teman-temanku yang lain, Bimbim dan aku terbiasa menggunakan “aku” dan “kamu”, bukan “gue” dan “lu”. Entah kenapa…
“Ah, nggak kok. Ada apa nih? Tumben kamu telpon aku…” ujarku dengan santai.
“Lho? Kok kamu malah tanya ‘ada apa’ sih? Aku dong yang harusnya tanya sama kamu, Ra…”
“Ya udah…. Kamu mau tanya apa, Bim?” kataku sambil tertawa kecil.
“SMS-mu itu…. Beneran, Ra?”

Kenapa semua orang mempertanyakan kebenaran berita yang datangnya langsung dari aku sebagai sumbernya? Apakah ini merupakan bentuk penyangkalan pada teman-temanku, ataukah terlalu banyak orang yang membanyol tentang HIV? Atau mungkinkah karena orang tidak pernah terpikir bahwa aku, yang tidak pernah menggunakan napza suntik, bisa terinfeksi juga? Aku bingung… sungguh bingung…

“Menurut kamu sendiri gimana, Bim… Apa kamu suka bercanda tentang hal-hal seperti itu? Etis nggak kalau itu cuma banyolan April Mop aja?” tanyaku pada Bimbim.
“Ya nggak sih…. Makanya aku tanya sama kamu, Ra….”
Aku menghela nafas, “Beneran kok Bim… Apa perlu hasil tesnya aku kirim ke Yogya?” aku mencandainya.
“Nggak usah, Ra…” kemudian hening sejenak….
“Jadi….?” Aku mencoba memecah kebisuan di antara kami.
“Jadi apa?”
“Jadi gimana…. Apa ini terakhir kalinya kamu ngehubungi aku, Bim?”
Hening sejenak…. “Kamu kok kampungan sih, Ra….?” Lagi-lagi sebutan kampungan yang aku terima… hmmm…
“Yaaa…. Aku ‘kan harus siap buat segala kemungkinan, Bim… kok malah dibilang ‘kampungan’ siiih?”
“Kalau aku mutusin pertemanan sama kamu cuma gara-gara tahu kamu punya HIV, ya berarti aku kampungan. Tapi kalau kamu pikir otakku sedangkal itu, ya itu artinya kamu yang kampungan, Ra….”  Bimbim menjawab sambil tertawa kecil.
Aku tidak bisa berkata apa-apa, hanya terkekeh saja, “Hehehehe…. Ya udah…. Makasih ya Bim, karena kamu masih mau jadi temenku…”
“Iya, Ra… sama-sama… Kamu jaga kesehatan ya… jangan kecapean… makan yang bener… minum vitamin… Kalau ada apa-apa…. Kabari aku ya, Ra….” Aku tersenyum sendiri mendengar nasehat Bimbim. Lalu pembicaraan pun berakhir. Hatiku dipenuhi kelegaan. Aku tidak kehilangan Bimbim! Tidak pula kehilangan Dee, Eddoy, Dusy dan Eko! Dan bahkan semua teman-temanku yang akhirnya mengetahui statusku, tak seorang pun dari mereka yang menjauhiku. Kita memang tidak boleh meremehkan kebesaran hati orang-orang di sekitar kita. 

Kampungan. Sebutan itu yang menjadi respon dari sahabat-sahabatku atas sikap penuh antisipasiku. Hingga saat ini pun mereka masih teman-teman baikku. Sahabat-sahabat yang tidak pernah meninggalkanku. Menerimaku apa adanya dan terus memberikan dukungan kepadaku. Keputusanku untuk bersikap jujur dan terbuka memang sebuah spekulasi besar. Tidak semua orang seberuntung aku. Aku mungkin memang sudah bersikap jujur dan terbuka terhadap mereka. Tetapi yang terpenting dari semuanya adalah aku sudah bersikap jujur pada diriku sendiri dan menerima diriku dengan segala keadaanku sekarang. Sikap kampunganku telah membuktikan bahwa sahabat sejati tidak akan meninggalkan kita walau apapun yang kita alami… walau bagaimanapun keadaan kita…

[Untuk Dee, Bimbim, Eddoy, Dusy, Eko, Bimbim, Nenon, Reza & Diana – yang tidak pernah peduli dengan status HIV-ku]

[dulu, kemarin atau barusan] Tidak Ada Bedanya....



Aku duduk di sisi ranjang yang dibalut sprei kusam. Seorang lelaki tergolek lemah, hampir tak sadarkan diri. Di sebelahku, istrinya yang masih muda – awal duapuluhan, duduk tertunduk sambil menangis lirih. Meskipun hal-hal seperti ini telah menjadi rutinitasku, namun setiap orang memiliki kisah yang berbeda. Dan setiap kali pula aku merasa jengah. Kadang aku pun tak tahu harus mulai dari mana. Kadang sulit untuk membuka pembicaraan untuk topik yang sulit ini…

“Saya nggak ngerti mbak… kok dia bisa sakit sampai seperti ini…. Dari mana semuanya ini?” perempuan itu memecah kebisuan dengan kata-katanya. Aku mengelus bahunya, “Kemarin sudah dijelaskan sama konselornya ‘kan? Suami Nani dulunya pernah nyuntik putaw, terus… jarumnya sering gantian sama teman-temannya. Nah… kalau pakai jarum suntik bareng-bareng seperti itu memang ada resiko tertular. Kita ‘kan nggak tahu, temannya yang mana yang sudah positif…” kataku memberi penjelasan ulang pada Nani. Perempuan itu sesenggukan. Aku mengusap punggungnya sekedar mencoba menenangkannya. “Saya tahu mbak…. Dulunya si akang ini nakal. Suka pakai narkoba, suka main perempuan. Tapi dia udah berhenti pakai sejak 5 tahun yang lalu! Sejak pacaran sama saya, dia juga udah nggak pernah main perempuan lagi…. Dia udah baik mbak… nggak seperti dulu lagi….” Nani memberikan pembelaan atas masa lalu suami yang dicintainya. Nada putus asa dan tak percaya menyelimuti suaranya yang lirih, ada sedikit penyangkalan yang terasa olehku. Pastinya! Semua orang pasti akan menyangkal dan mencari pembelaan terbaik, hanya untuk sekedar menenangkan hatinya sendiri. Namun itu semua tak akan mengubah kenyataan yang sudah terbuka di depan mata. Betapa sulitnya menerima kenyataan pahit apalagi jika kita tahu sudah ada perubahan besar ke arah kebaikan yang dilakukan. Lalu untuk apa semua usaha untuk menjalani hidup dengan baik-baik, membina keluarga dan menjauh dari jerat napza yang telah dilakukan…. ? Pikiran-pikiran seperti itu pasti menghantui otak mereka.
“Nani… resiko tertular atau terinfeksi HIV dan hepatitis C itu sudah ada sejak pertama kali si akang mulai pakai jarum suntik bareng teman-temannya. Dan itu kita nggak tahu pasti sejak kapan ‘kan?” ujarku mencoba memasukkan sedikit pemahaman tentang penularan HIV dan hepatitis C kepada Nani. “Tapi mbak… si akang itu nyuntiknya juga nggak sering-sering amat kok….” Tegas Nani masih memberikan pembelaan untuk masa lalu suaminya. Betapa manisnya… begitu kuat rasa cintanya kepada sang suami sehingga ia terus mengusahakan pembelaan meskipun aku yakin, dalam hatinya Nani pun tahu bahwa semua usahanya tidak akan membuahkan hasil yang sesuai dengan harapannya. “Iya Ni… tapi yang kita harus tahu, penularan ini nggak tergantung sama seberapa sering atau seberapa jarang orang nyuntik bareng. Biarpun si akang cuma satu kali pake jarum suntik bareng teman-temannya, dia tetap punya resiko tertular. Almarhum mantan suami saya juga gitu kok…” akhirnya aku mengeluarkan senjata pamungkasku. Kemiripan situasi kami. Kadang ikatan sisterhood yang terbentuk akan memudahkan aku untuk membangkitkan semangat perempuan pasangan pecandu. Dan benar saja, Nani serta merta mengangkat wajahnya dan memandangku dengan terbelalak, “Betul mbak??” tanyanya. Aku mengangguk. “Nani… kapanpun seseorang berhenti nyuntik… dulu, 10 tahun yang lalu, kemarin atau barusan… resikonya tetap sama…” jelasku padanya. “Memang berat yaa… saya ngerti banget. Si akang udah berhenti dan menikah baik-baik sama Nani, pasti berat untuk nerima semua ini. Tapi kita nggak boleh patah semangat, Ni! Si akang sekarang lagi butuh dukungan Nani… ini saatnya kamu menumpahkan rasa cinta sama si akang… Coba bayangin kalau si akang nggak punya Nani…” aku sengaja menggantung kalimatku. Membiarkannya menyimpulkan sendiri akhir dari kalimat itu. “Kira-kira si akang ini mulai ketularannya kapan ya Mbak…?” tanya Nani. “Terus terang saya nggak tahu, Ni… nggak ada yang bisa mastiin juga. Tapi itu nggak penting lah… yang terpenting sekarang ‘kan gimana kita bisa mengusahakan supaya si akang sembuh ya?” saranku kepadanya. Nani tercenung. “Bukan apa-apa Mbak… saya ‘kan juga positif tertular si akang. Kalau saya nanti sakit jadi kayak si akang gini juga gimana? Siapa yang ngerawat kami? Kami nggak punya siapa-siapa lagi soalnya.” Ujarnya dengan suara bergetar karena emosi. “Nani ‘kan masih sehat banget nih…. Kalau Nani bisa jaga kesehatan, Nani nggak akan sakit seperti si akang kok. Asal Nani pola hidupnya sehat aja. Cukup istirahat, makan yang gizinya cukup dan tenangkan pikiran sebisa mungkin…” jawabku. “Gitu ya Mbak…?” balasnya masih dengan nada yang kurang yakin. Aku tersenyum. Kekhawatiran itu pasti ada. Wajar dan manusiawi, apalagi jika mereka memang tidak punya siapa-siapa lagi. “CD4 Nani pasti masih bagus ‘kan?” tanyaku berspekulasi. “700 Mbak…” jawabnya. “Nah…!! Masih bagus itu, Ni… dijaga supaya nggak turun terlalu banyak ya? Biar Nani tetap sehat dan bisa merawat si akang dan bisa menyemangati dia juga.” Ujarku mencoba untuk membangkitkan semangatnya. “Tapi Mbak… nanti kalau Nani sering hubungi Mbak Ratri, nggak apa-apa ya?” tanyanya. “Ya jelas nggak apa-apa dong, Ni… kapan aja Nani perlu ngobrol atau tanya-tanya, kabari saya aja. Nanti saya juga nengok kesini lagi kok…”  jawabku. Kelegaan tampak membayang di wajahnya. Setidaknya untuk saat ini aku bisa mengurangi beban pikirannya sedikit saja.

Tak ada balasan yang lebih berharga bagiku selain melihat klienku kembali sehat. Dan ini aku dapatkan dari suami Nani setelah beberapa bulan berselang. Betapa haru rasanya melihat si akang bisa berjalan lagi dan berangsur membaik. Aku tahu, Nani memegang peranan besar dalam kesembuhan suaminya. Ia dengan telaten merawat suaminya dan membangkitkan semangat hidupnya. “Udah sama-sama positif, kita saling dukung aja ya Mbak….” Begitu katanya kepadaku terakhir kali aku datang menengok ke rumahnya. Sang suami menggenggam erat tangan istrinya dengan penuh cinta dan rasa terima kasih. Sungguh sebuah kebersamaan yang indah. 

Memang benar…. Tidak peduli kapan seseorang berhenti menggunakan napza suntik dengan kebiasaan memakai jarum bersama-sama… tidak peduli itu dulu, 10 tahun yang lalu, setahun yang lalu, kemarin atau baru saja, resiko tertular itu tetap membayangi. Namun jika mereka memiliki pasangan yang selalu tegar dan memberikan dukungan, maka badai akan bisa terlewati dengan kebersamaan….


[nama karakter sudah diubah]

Cinta Itu Sederhana

[Bukan fiksi - cerita ini adalah sebuah episode dalam kehidupan yang aku alami tahun 2007. Nama karakter & klinik sengaja diubah]

Pagi itu aku tiba di klinik Magnolia agak cepat. Belum lagi pukul 9, tapi pasien sudah berderet. Beberapa wajah yang akrab denganku tersenyum menyapaku. “Selamat pagi….!” Aku menyapa mereka sebelum masuk ke ruang administrasi klinik. “Selamat pagi neng Ratri…” sapa pak Toto, petugas administrasi klinik, dengan ramah. “Pagi, Pak… Udah rame aja ya pak… Baru jam segini...” Ujarku sambil meletakkan tasku dan mengalungkan kartu identitas pendampingku. “Iya nih… Oya, ada ibu hamil yang positif tuh. Datang bareng suaminya. Perlu ngobrol soal proses kelahiran. Nanti tolong di handle ya?” imbuh pak Toto sambil menyodorkan berkas rekam medis kepadaku dan mengarahkan pandangan matanya ke sudut teras klinik. Aku mengikuti pandangan matanya. Di sudut teras ada pasangan muda yang sedang mengobrol. Si perempuan berwajah manis layaknya kembang desa. Si suami berwajah agak tengil. Aku melihat si suami sesekali menggoda istrinya dan si perempuan akan memukul mesra lengan suaminya, “Atuh aaah… Aa mah….” Lalu mereka tertawa terkikik-kikik berdua. “Hmmm…. Manis sekali mereka berdua. Siapa ya mereka?” Begitu pikirku. “Istrinya namanya Eni. Suaminya Amin, ya neng…” pak Toto seolah bisa membaca pikiranku. “Oke pak….” Aku beranjak memanggil mereka untuk masuk ke ruang konsultasi.

“Eni sama Amin yaaa…?” sapaku. Mereka mengangguk. Aku membaca rekam medis mereka, dan bisa merasakan mereka mengawasiku. “Udah masuk bulan ke delapan ya, Ni?” tanyaku lagi. “Iya, Teh… Kebobolan. Da si Aa-na bandel, ngga mau pake kondom siiih…” ujar Eni dengan nada manja sambil mendorong bahu suaminya. Si suami hanya nyengir kuda, “Da kirain teh kalo udah sama-sama positif mah nggak usah pake kondom lagi gitu, Teh….” Jawabnya membela diri. “Iiiih… si Aa mah sok baong ari dibejaan teeeh. Apan tos diwartosan ku dokterna basa eta…”[1] Eni berkata sambil mencubit lengan suaminya. “Aduuuh!!!” Amin menjerit kecil. Aku ikut tertawa. “Ya udah. Udah telanjur kan? Tapi Eni udah ARV[2] ‘kan?” tanyaku. “Udah Teteh… Kan waktu kemaren CD4[3] Eni teh sempet ngedrop teaaa. Jadi sama dokter langsung harus ARV.” Jawabnya. Aku mengangguk tanda mengerti. “Sesuai prosedur untuk ibu hamil yang positif sekarang, Eni harus operasi cesar ya? Nggak bisa melahirkan normal, biar mengurangi resiko penularan ke bayinya. Tapi harus segera nih… Gimana?” Keduanya saling berpandangan… "Kumaha Aa…?”[4] tanya Eni kepada Amin. “Iiih… nya kumaha deui? Kudu atuh eta mah…”[5] jawab si suami sambil tertawa-tawa menggoda. Namun kali ini Eni terlihat serius, sehingga Amin pun serta merta menghentikan guyonannya. “Biayana kumaha….”[6] Aku mendengar Eni berkata lirih kepada Amin. Seketika itu juga kebingungan membayang di wajah Amin. Dia berpaling kepadaku, “Kalo soal biaya… kira-kira berapa ya, Teh…?” tanyanya sambil menggenggam erat tangan istrinya. Cemas menanti jawaban yang keluar dari mulutku.

Biaya. Selalu itu yang menjadi pertanyaan besar dan menakutkan bagi klien-klienku yang kebanyakan berasal dari golongan menengah ke bawah. Betapa mahalnya harga ‘kesehatan’ dan ‘keselamatan’ yang harus mereka bayar. Belum lagi perlakuan tidak adil yang sering mereka terima dari petugas layanan kesehatan. Seolah-olah menegaskan fakta bahwa ‘orang miskin dilarang sakit’. “Saya belum tahu biayanya berapa… tapi kalian kan bisa pakai ASKESKIN. Minta surat keterangan tidak mampu dari RT, RW, Kelurahan dan Kecamatan nanti perawatannya Eni ditanggung negara jadinya.” Paparku. Amin dan Eni mengangguk-angguk. “Itu ngurusnya lama nggak, Teh?” Tanya Amin lagi sambil memandang perut Eni yang membuncit.  Aku berpikir sejenak, “Eni sih harus masuk hari ini juga karena udah hamil tua. Gini aja deh, nanti saya minta tolong dokter dan bagian administrasi di sini supaya Eni bisa masuk ruangan dulu. Tapi kamu, Min, langsung pulang dan langsung urus surat keterangannya hari ini ya? Bisa kan?” aku mengajukan sebuah solusi untuk mereka. “Oooh bisa, Teh… bisa!” jawabnya dengan penuh semangat. “Taah… burukeun Aa… sakalian pang mawakeun baju Eni nya? Da bageur….”[7] Sambar Eni kepada suaminya. “Euh… ieu mah mun aya kahayangna we, karek ngabageuran!”[8] ujar Amin pura-pura ngambek. “Iiih… bae atuh Aa… da kasep nya..?”[9] Eni tetap merayu Amin. Mereka lalu tertawa-tawa. Lepas. Tanpa beban, seolah HIV hanya sekedar sakit flu biasa.

Dua hari kemudian ketika aku datang menengok Eni di rumah sakit, ia sudah menggendong bayi laki-laki yang sehat bernama Rahmat. “Teteh… sini, liat dulu atuuuh! Laki-laki, Teh. Namanya Rahmat. Mudah-mudahan jadi Rahmat buat keluarga Eni ya, Teh…” serunya kepadaku. “Amiiiiin!” jawabku. “Mana si Aa, Ni?” tanyaku ketika tidak mendapati Amin di kamar. “Lagi keluar dulu, Teh. Beli sarapan. Kasian si Aa, nggak tidur semalaman jagain Eni.” Ujarnya padaku. “Lho? Memangnya Eni kenapa?” tanyaku waswas. “Ah, nggak apa-apa Eni-nya mah Teteh. Cuma si Aa-nya aja yang takut. Takut Eni tiba-tiba meninggal, cenah. Soalnya yang ranjang sebelah ini kan kemarin habis melahirkan sehari terus tiba-tiba meninggal, Teh… Jadi si Aa ketakutan…” jelas Eni kepadaku. “Teteh… ruangan ini khusus untuk pasien B20[10] aja ya? B20 teh apa sih?” tiba-tiba Eni bertanya padaku. Aku tercekat. “Siapa yang kasih tau, Eni?” tanyaku padanya. “Nggak ada yang kasih tau sih, cuma Eni denger aja suster-susternya pada bilang ‘B20’ gitu terus nunjuk ke ruangan sini. Terus, di papan yang di tempat tidur itu juga ada tulisannya ‘Ny. Eni B20’. Gitu Teteh…” Eni menjelaskan padaku. Aku tahu, memang Ruang 13 adalah bangsal bersalin khusus untuk ODHA. Aku tersenyum, “B20 itu emang kode untuk pasien yang positif, Ni. Kayak kita-kita ini. Sengaja ditulis B20 biar nggak banyak orang yang ngerti. Kalo ditulis ‘Ny. Eni HIV positif’ gimana, coba? Kan nggak enak ya?” jelasku kepada Eni. “Emangnya kenapa kalo ditulis ‘HIV’ gitu, Teh? Kan emang Eni HIV? Ya nggak apa-apa atuh… Biar dokternya sama susternya juga langsung tau.” Tukasnya polos. Aku tersenyum mendengar kepolosannya. “Tapi banyak yang nggak mau ketahuan, Ni.” Jawabku lagi. “Iiih… kenapa sih? Ya itu kan udah keadaan kita ya, Teh… harus terima dong. Kenapa harus ditutupin? Eni mah nggak malu, tapi nggak ngerti aja kenapa ruangannya harus dipisah gini…” ujarnya lagi. Aku bergeser mendekati Eni, “Jadi gini, Ni… Karena badan kita kan nggak kayak badan orang lain. Istilahnya mah, pagernya kita nggak sekuat pager orang lain, jadi dipisah ruangannya. Biar nggak gampang ketularan penyakit lain. Namanya juga Rumah Sakit, pasti banyak penyakitnya kan?” aku mencoba menjelaskan dengan sesederhana mungkin kepada Eni. Perempuan itu mengangguk-angguk. “Eni mah yang penting si Aa bageur[11], terus Rahmat nanti sehat lah… Biarin aja orang mau ngomong apa juga. Namanya umur mah di tangan Tuhan ya, Teh? Kan penyakit juga banyak, nggak cuma HIV aja. Kalo Eni nggak kena HIV, mungkin aja kena penyakit lain. Lah… mikiran teuing[12]. Eni mah pengen punya keluarga sakinah aja, Teh. Justru ada bagusnya loh, Teh, si Aa positif teh… Biar dia nggak bandel ke perempuan lagi. Hahaha…” Eni mencerocos dengan kepolosan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku hanya tersenyum mendengarkan celotehannya. Kepolosan itu… apakah karena ia bisa menerima keadaannya… karena sudah mengerti benar… ataukah justru karena ia tidak paham apa yang sedang berlangsung dalam hidupnya? Aku tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah Eni melihat semuanya dari sisi lain yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh perempuan pengidap HIV mana pun! Aku kagum dan terharu. Tak sedikit pun tebersit rasa takut dan cemas dalam nada bicaranya. Ada kepasrahan tingkat tinggi dan penerimaan diri yang luar biasa yang bisa aku lihat dalam dirinya. Seorang perempuan dari sebuah desa di utara Bandung bisa menunjukkan kekuatan yang sangat besar lewat cara yang sederhana.

Aku pamit ketika Amin kembali ke ruangan. “Teteh…. Hatur nuhun nyaaa… Meni tos ngarepotkeun ieu duaan teh…”[13] Kata Amin dan Eni sambil menyambut jabat tanganku. “Aaah, nggak ngerepotin kok! Udah kewajiban saya kan? Jangan lupa rajin kontrol ke dokter. ARV-nya jangan pada telat minum ya? Kalo ada apa-apa, telpon saya aja.” jawabku sebelum meninggalkan ruangan. “Iya Teteh…” sahut mereka berdua.

Ketika berlalu dari Ruang 13, aku melihat dari ambang jendela… Eni dan Amin sedang mencandai Rahmat. Keduanya tampak sangat bahagia. Amin mengecup kening Eni dengan penuh cinta, lalu mengecup Rahmat yang masih tidur. Aku berlalu sambil menahan air mata haru… Aku belajar banyak dari mereka berdua. Tentang ketulusan, kesederhanaan, penerimaan diri, pemaafan dan memandang hidup dari sisi yang positif. 

Cinta itu sederhana, hanya butuh saling dukung dan saling menerima dengan lapang dada apa yang sudah menjadi kenyataan di depan mata…


[1] Bahasa Sunda: “Iiih… abang suka bandel kalau diberi tahu ya? Kan sudah diberi tahu oleh dokternya waktu itu…”
[2] ARV = anti-retroviral; obat yang dikonsumsi ODHA, gunanya untuk menekan laju aktivitas virus yang menggandakan diri di dalam tubuh.
[3] CD4 = angka sel – T yang menunjukkan besaran system kekebalan tubuh manusia.
[4] “Bagaimana, bang…?”
[5] “Iiih… ya bagaimana lagi? Harus laaah…”
[6] “Biayanya bagaimana…?”
[7] “Naaah… cepat, bang! Sekalian tolong bawakan baju Eni ya? Abang baik, deh…”
[8] “Huh… kamu ini kalau ada maunya baru berbaik-baik…”
[9] “Iiih… biar dong, bang… kan abang ganteng… ya?”
[10] B20 = kode pasien dengan HIV/AIDS di rumah sakit
[11] baik
[12] “Laaah… nggak usah terlalu dipikirkan”
[13] “Kakak, terima kasih ya… maaf kami berdua sudah merepotkan…”