Perempuan itu duduk
memandang hujan yang menetes deras seperti tangisan malaikat di langit. Hawa
sejuk menyergapnya. Dia memejamkan matanya mencoba meresapi suara air yang
jatuh dan aroma tanah basah yang segar. Tempat itu jauh dari keramaian. Sunyi
dan damai. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Dibukanya kembali matanya, dan
kabut tipis menyambut pandangannya. Dia dalam kesendiriannya yang sesak. Hening
yang pekak. Pekak oleh berbagai abstraksi yang mondar-mandir dalam rongga
kepalanya. Perempuan itu memejamkan lagi matanya…. Lalu tiba-tiba dirasakannya
sepasang lengan memeluknya dari belakang. Hangat. Dia tersenyum.
Sosok: Hai…
Dia: Hai…
Sosok: Sedang apa kamu?
Dia: Menikmati hujan…
Sosok itu mengecup
kepalanya.
Sosok: Dingin?
Dia: Sedikit…
Sosok itu mengeratkan
pelukannya. Perempuan itu menyandarkan kepala di dadanya yang bidang.
Sosok: Aku ingin kita
seperti ini terus…
Dia: Aku juga…
Sosok: Aku sayang kamu…
Dia: Aku juga…. Tetap
di sini denganku…
Sosok: Selalu…
Kehangatan menjalari
hati perempuan itu. Jiwanya mencair dalam pelukan sosok itu… Indah dan damai…
***
Lelaki itu duduk
memandang hujan sambil mengisap rokoknya. Hujan deras, udara mengabut. Dingin.
Angin sejuk menerpa wajahnya, dia memejamkan matanya, mencoba menikmati suasana
yang hening di sekelilingnya. Sejurus kemudian dia mengulurkan tangannya,
tetes-tetes air hujan jatuh di atas telapak tangannya lalu mengalir cepat lewat
sela-sela jemarinya. Tak lama kemudian sosok itu datang, dan dia merapatkan
jemari tangannya yang terbuka hingga telapaknya membentuk ceruk. Air hujan pun
tertampung membentuk kolam kecil.
Sosok: Kalau jemarimu
terbuka, airnya akan jatuh ke tanah. Tapi jika kau rapatkan, dia akan tinggal
di telapakmu. Jangan pula kau kepal, karena itu justru akan membuang semua yang
tertampung di telapakmu.
Dia: Seperti cinta….
Sosok: Ya… seperti
cinta… Makin kuat kau menggenggamnya, makin cepat dia pergi…
Dia: Jika kau tampung dia,
maka makin lama dia berada di telapakmu…
Sosok itu menoleh dan
tersenyum. Lalu mengeluarkan sapu tangan dan mengeringkan tangan lelaki itu.
Digenggamnya tangan yang sudah kering itu. Lelaki itu menarik tangan mereka
yang saling terpaut. Sosok itu mendekat, lalu duduk di sampingnya. Lelaki itu
merangkulnya erat. Sosok itu melingkarkan lengannya di pinggang si lelaki, lalu
merebahkan kepalanya di bahunya.
Dia: Dingin?
Sosok: Sedikit…
Lelaki itu mengeratkan
rengkuhannya sambil menggosok lembut lengan sosok itu.
Sosok: Aku ingin kita
seperti ini terus….
Dia: Aku juga…
Sosok: Kenapa baru
sekarang?
Dia: Aku selalu
menunggumu…
Sosok: Terlalu lama.
Dia: Maafkan….
Lelaki itu mengecup kening
sosok itu.
Sosok: Aku sayang kamu…
Dia: Aku juga…
Sosok: Jangan pergi
dariku…
Dia: Tidak akan…
Lelaki itu memejamkan
matanya, mengeratkan pelukannya. Sosok itu mengeratkan lingkaran lengannya di
tubuh si lelaki. Berdua, mereka larut dalam kesunyian. Jiwa-jiwa yang dulu
hampa, kini terisi sudah.
***
Suara petir mengagetkan
perempuan itu.
Suara petir mengagetkan
lelaki itu.
Perempuan itu membuka
matanya.
Lelaki itu membuka
matanya.
Hujan masih turun
dengan deras. Hawa masih dingin. Cuaca masih mengabut. Keduanya masih sendiri…
Tak ada lengan yang melingkar. Tak ada sosok yang hangat. Tak ada siapa-siapa…
[Jakarta, 4 November 2012 - Hujan deras di siang yang kelabu]
[Jakarta, 4 November 2012 - Hujan deras di siang yang kelabu]
No comments:
Post a Comment