Perempuan itu mengemasi
barang-barangnya. Dia bolak-balik memeriksa telepon genggamnya. “Tidak terkirim
semua….” Keluhnya dalam hati. Lalu ia meneruskan pekerjaannya hingga semua
barangnya rapi dalam 2 buah koper besar. “Africa, here I go…” ujarnya lagi
dalam hati. Lelaki itu belum juga menerima pesan-pesannya. Semua pesan yang
dikirimnya berakhir dengan tanda silang, tak terkirim. Perempuan itu menghela
nafas lalu duduk di tepi tempat tidur.
Sudah tiga minggu ini dia mencoba
menghubungi lelaki itu namun tampaknya dia sangat sibuk dengan pekerjaannya. Dia
sedang ditugaskan ke luar daerah. Sebuah daerah terpencil yang sepertinya tidak
terjamah koneksi internet, bahkan signal telepon seluler pun tak mudah
diterima. Perempuan itu bimbang. Dia harus berangkat malam itu menuju sebuah
negeri yang jauh, di mana pekerjaan telah menantinya dan dia belum sempat
memberitahu lelaki itu. Semuanya terjadi begitu cepat. Email yang menyatakan
dia telah diterima bekerja di negeri jauh itu datang kurang lebih tiga minggu
yang lalu, hanya selang sehari setelah keberangkatan lelaki itu. Dua minggu
kemudian perempuan itu telah mengantongi tiket dan visa kerjanya untuk
berangkat malam ini. Sudah puluhan bahkan mungkin ratusan pesan singkat yang
dikirimkannya kepada lelaki itu, tapi tak satu pun yang terkirim. Perempuan itu
tak tahu apa lagi yang harus dilakukannya.
Perempuan telah memutuskan untuk
menerima pekerjaan itu agar dia bisa belajar melupakan lelaki itu. Lelaki yang
didambakannya, namun hatinya sepertinya telah diberikan kepada perempuan lain. Meski
demikian, dia tak ingin pergi tanpa pesan. Pesan terakhir untuk lelaki itu. Pesan
yang paling penting yang harus disampaikannya…
Akhirnya perempuan itu membuka
laptopnya. “Katakan apa yang kamu rasakan untuknya… Tuliskan, lalu kirimkan
untuknya…” ujarnya dalam hati, mengulang saran yang pernah diberikannya kepada
lelaki itu. Saran yang seharusnya ditujukan kepada dirinya sendiri. Saran yang
seharusnya dilakukannya sendiri sejak lama. Lalu dia mulai mengetik…
**
Lelaki itu turun dari taksi yang
membawanya dari lapangan udara. Dia masuk ke kamarnya dan segera membongkar tas
ranselnya untuk mengeluarkan laptopnya. Tiga minggu lebih dia berada di tempat
yang tak tersentuh koneksi internet, tak ada signal telepon seluler. Dia benar-benar
terputus komunikasi dengan dunia luar. Dengan perempuan itu… Bergegas lelaki
itu menyalakan laptopnya. Telepon selulernya tak menunjukkan tanda-tanda adanya
pesan masuk.
Ketika membuka kotak surat
masuknya, dia mendapati nama perempuan itu telah ada di kolom pengirim. Segera dibukanya
email dari perempuan itu dan mulai membacanya….
From:
larasati@gmail.com
Subject: Itu aku…
Hey, kamu…
Ya, kamu yang tiga
minggu sudah berada di luar jangkauan. Kamu mungkin berada di luar jangkauan
koneksi internet dan signal telepon seluler selama tiga minggu, tetapi kamu
sudah berada di luar jangkauanku selama lebih dari dua tahun….
Aku hanya ingin
sampaikan kepadamu bahwa aku sudah berangkat ke Afrika untuk sebuah pekerjaan
yang memang aku inginkan. Bukannya aku ingin pergi tanpa memberitahu kamu, tapi
sudah banyak pesan singkat yang aku coba kirimkan kepadamu dan gagal terkirim.
Bukan salahmu…
Anyway, kamu masih
ingat ketika aku menyarankan kamu untuk mengungkapkan perasaanmu kepada
perempuan yang kamu sukai? Sejujurnya, aku mungkin lebih membutuhkan saran itu
daripada kamu. Aku. Ya, aku… Kamu selalu mendengar tentang sesosok lelaki yang
aku sayangi selama ini. Sosok yang membuatku terjaga hampir setiap malam. Sosok
yang aku inginkan untuk memelukku dari belakang ketika melihat pemandangan di
puncak gedung. Sosok yang akan aku bohongi ketika hawa di gunung mulai dingin
hanya agar dia memelukku. Sosok yang aku khayalkan memelukku sambil
bersama-sama menikmati butiran hujan yang jatuh. Sosok yang selalu aku katakan kepadamu
bahwa sepertinya hatinya sudah diberikan kepada perempuan lain. Kamu ingat? Aku
hanya ingin mengatakan kepadamu bahwa sosok itu adalah kamu…
Ya, lelaki itu kamu…
tapi aku tahu kamu sedang menunggu perempuan lain. Maka aku rasa menjauh darimu
adalah hal terbaik yang harus aku lakukan, karena aku tak tahu apakah aku mampu
menahan diri dan perasaanku jika suatu saat nanti kamu akhirnya mengenalkan
perempuan itu kepadaku. Memang aku bersikap biasa saja dengan semua pacarmu. Tapi
itu dulu, kali ini aku tak yakin aku mampu seperti itu lagi. Maka sebelum
semuanya berubah menjadi aneh dan tak nyaman, aku memilih pergi. Maafkan aku…
Aku menyayangi kamu, tapi “mencintai tak harus memiliki” tak pernah ada dalam kamusku.
Denganmu, aku tak sanggup jika tak memiliki tapi harus berdekatan. Pergi adalah
jalan terbaik untuk kita berdua. Aku memang pengecut. Hanya berani memendam
rasa dan kemudian pergi darimu. Tapi aku tidak ingin merusak kebahagiaanmu
bersama perempuan itu. Semoga kamu bisa berbahagia dengannya, siapa pun
perempuan yang sedang kamu tunggu itu… Aku setulusnya berharap kamu bahagia,
tapi maafkan jika aku tak punya cukup kekuatan untuk terus menjadi temanmu… Semoga kamu dapati hati yang tulus mencintaimu, meski bukan aku....
Terima kasih untuk
segalanya….
- Aku –
PS: Ingat lagu yang
terselip dalam amplop di bukumu? Itu juga aku…
**
Lelaki itu tertegun. Matanya
tak lepas menatap layar laptopnya. Dibacanya email itu berulang kali hanya
untuk memastikan apakah dia tak salah baca. Isinya tetap sama. Perempuan itu… Dia
telah salah sangka selama ini!
Lelaki itu dengan
segera menekan tombol “Reply” lalu mulai mengetik…
To: larasati@gmail.com
Subject: RE: Itu aku…
Hey, kamu…
Kamu mungkin tidak tahu
sekaget apa aku membaca emailmu… Tentu aku masih ingat saranmu tentang mengungkapkan
perasaan kepada perempuan yang aku sayangi. Dan seharusnya memang aku
melakukannya sejak dulu, tak perlu menunggu terlalu lama seperti ini, karena
perempuan itu adalah kamu! Kamu lah yang aku tunggu… Aku tak pernah yakin dan
aku selalu mengira kamu menginginkan lelaki lain. Maafkan aku yang terlalu lama
menunda…
Kamu lah perempuan yang
ingin aku peluk ketika kita berada di atas gedung tinggi itu. Kamu yang ingin
aku rengkuh saat kita ada di bukit itu. Kamu, kamu dan hanya kamu…. Aku lah
yang mengirim lirik lagu itu dan menyelipkannya di dalam daily planner-mu. Aku juga yang mengirimkan lagu kesukaanmu itu lewat akun email anonim. Kamu
tidak tahu... Aku tidak tahu… Kita sama-sama tidak tahu, tapi biarkan aku menunggumu kembali, asalkan kamu
kembali kepadaku. Aku pasti akan menunggumu. Maafkan aku… aku sayang kamu…
Yours,
- Aku –
**
Lelaki itu menekan
tombol “Send”. Perasaannya campur aduk. Ada senang, sedih dan kaget. Senang karena ternyata perempuan itu memiliki perasaan yang sama dengannya. Sedih karena sekarang perempuan itu telah berada di negeri yang sangat jauh. dan kaget karena tak menyangka bahwa apa yang dirasakannya ternyata sama dengan apa yang dirasa perempuan itu.
Tiba-tiba terdengar
bunyi email notification di laptopnya. Lelaki itu membuka kotak masuk emailnya….
Mail Delivery Returned –
user unknown
It looks like you have
sent an email to an unknown user or an inactive email account. Please, check
the address and make sure you have put the correct email address.
--- THE END ---
No comments:
Post a Comment