Showing posts with label Piece of Mind. Show all posts
Showing posts with label Piece of Mind. Show all posts

Monday, 11 March 2013

Kamu Dalam Kenanganku, Lan....

"Rat, gua tau kita nggak terlalu deket. Tapi gua nggak tau harus minta tolong sama siapa lagi. Gua nggak tau siapa-siapa lagi di KL selain lu. Lu mau kan bantuin gua?"

Aku ingat chatting kita hari itu di YM. Kamu bilang harus operasi jantung dan kamu memilih Malaysia. Lalu yang aku ingat berikutnya adalah aku sibuk mencarikan apartemen untukmu. Tiga minggu kemudian kamu tiba bersama 2 orang teman dan ibumu. Lalu kita pergi bersama, makan nasi ayam Hainan, ngopi di DOME KLCC, jalan-jalan ke Petaling Street. Setelah lewat seminggu, kamu memutuskan kembali dan batal operasi karena masalah manajemen di rumah sakit itu.

"Rat, boleh nggak Nining nginep di tempat gua? Gua takut malem-malem gua kenapa-kenapa dan cuma sendirian."

Kamu bertanya padaku ketika sedang didorong keluar dengan kursi roda dari area Global Village di Mexico. Aku mengangguk. Lalu aku dan Nining sibuk menertawakanmu, "Ah, lu dandanan sih rocker abis. Tapi pake oksigen sama kursi roda. Anti klimaks banget deh!" Kamu ikut tertawa. Lalu malam itu aku biarkan Nining, teman sekamarku, menginap di kamar hotelmu. Esoknya kamu pulang ke Jakarta. Hanya dua hari kita bersama di Mexico. Kamu tidak kuat dengan tipisnya oksigen di tempat konferensi itu dan luasnya area yang harus dilewati dengan berjalan kaki setiap harinya.

"Rat, makasih ya, udah rekomendasiin gua jadi juri lomba foto! Seneng banget gua! Gila!"

Waktu itu aku memang hanya terpikir kamu, Lan. Kamu berkutat dengan komunitas dan kamu jago fotografi. Jadi, ketika aku tidak bisa jadi juri, namamu lah yang pertama kali terlintas dalam pikiranku.

"Rat, menurut lu gua bagusnya gimana? Lembaga gua diserang habis-habisan di milis. Tau lah lu, gara-gara training kemarin itu..."

Lalu kita sibuk saling bertukar solusi terbaik untuk situasimu saat itu. Serangan yang kamu terima memang bertubi-tubi. Cacian dan makian dalam kemasan yang seolah sebuah kritik konstruktif terus kamu terima. Aku tahu kamu kalut. Kamu katakan itu kepadaku. Bebanmu besar sebagai pemimpin dan kamu harus tetap bersikap tenang. Padahal dalam hati kamu sudah tidak tahan membaca semua cercaan yang ditujukan kepada lembagamu. Aku senang akhirnya masalah itu terselesaikan dengan baik. Persis seperti yang kita prediksi bersama, Lan.

"Rat, gua nggak jadi operasi jantung. Dokter-dokter di sini bilang kemungkinannya cuma 30:70. Gua bisa meninggal di meja operasi. Gua mau pulang aja. Terapi alternatif."

Begitu lah kabar yang aku terima ketika kamu di Australia. Aku hanya bisa mendukung keputusanmu, Lan. Senangkan dan isi hidupmu dengan hal-hal yang kamu suka. Lakukan apa yang kamu suka. Hidup dan mati bukan kita yang menentukan.

"Rat, gua pengen ngobrol sama lu, ada waktu nggak?"

Lalu sejurus kemudian pesan-pesanmu mengalir lewat BBM. Kamu hampir menikah saat itu. Ada sedikit bimbang. Aku hanya bisa mengembalikan semua keputusan ke tanganmu. Hanya kamu yang tahu apa yang terbaik untuk dirimu, Lan. Beberapa bulan kemudian kamu mengirim undangan pernikahanmu. Aku memang tak bisa datang, tapi kamu tahu aku mendukungmu. Selalu, Lan...

"Rat, gua mau motret lu. Kapan lu bisa?"

Sepertinya dua minggu kemudian kita janjian di PIM. Kamu potret aku dan sahabatku. Ketika kita makan, kamu menghela nafas berat sambil mengeluarkan sekantong obat-obatan. "Lu nggak apa-apa?" aku bertanya. "Capek gua, Rat. Capek minum obat sebanyak ini" begitu jawabmu. Tapi kamu tetap meminum obat-obatmu.

"Rat, pertemanan kita ini aneh ya? Kita nggak terlalu deket. Nggak akrab-akrab banget. Nggak pernah jalan atau nongkrong bareng, tapi kita kayaknya selalu saling mencari kalo ada apa-apa ya?"

Begitu katamu kepadaku. Aku hanya tertawa. Teman itu seharusnya memang seperti bintang. Tidak perlu selalu terlihat, tapi kita tahu mereka ada di sana. Itu prinsipku, Lan dan kamu tahu itu.

"Rat, gua mau bikin acara talk show tentang perempuan dan HIV. Gua mau lu jadi narasumbernya ya?"

Tentu saja aku setuju. Beberapa minggu setelah acara itu selesai, kamu bilang padaku bahwa kamu akan membuat acara-acara serupa itu tahun berikutnya dan kamu ingin aku terlibat. Tapi itu adalah acara terakhir kita. Tahun sudah berganti, rencana belum terlaksana tapi kamu sudah pergi, Lan. 

Ya, Lan... pertemanan kita memang aneh. Tapi tetap saja sebuah pertemanan. Tidak ada saling ketergantungan, tapi kita sama-sama tahu bahwa kita bisa saling mengandalkan. Bukankah lebih indah begitu?

Pertemanan kita berkembang dari "gua tau kita nggak terlalu deket" hingga menjadi "gua mau lu jadi narasumbernya". 

Kamu ada dalam kenanganku, Lan. Selalu. Aku sudah banyak kehilangan teman, tapi kehilangan kamu adalah yang terberat yang aku rasakan sampai saat ini. Terima kasih karena kamu sudah meminta bantuanku ketika kamu akan pergi ke KL. Saat itu kamu membuka pintu pertemanan denganku. Aku bangga karena kamu adalah seorang pejuang, Lan. Kamu berjuang hingga hela nafas terakhirmu. 

Selamat jalan, Wulan... Selamat menjadi penghuni surga bersama teman-teman kita yang lain. Aku pasti akan rindu padamu. Rindu tulisan-tulisanmu. Rindu hasil-hasil jepretan kameramu.


Jakarta, 11 Maret 2013 - malam keempat setelah kepergianmu, Lan. Maafkan jika aku masih berduka...             

Wulan, Nining & aku di Mexico
 

Thursday, 7 March 2013

The Art of Remembering

There is this tribe in central Africa. The people believe that the dead should not be named or mentioned, because only by then you will be able to let go and move on. They mourn for a while, but soon they have to take control of their lives and set aside the grief before they finally move on. They don't forget about the dead, but they simply just get on with their lives without them.

And I thought, how different it is here. People here tend to remember the dead and speak about them constantly; and somehow talking about them comforts us. But does it really provide us with comfort... or is it just us in denial of reality? It's a fine line. Here, even after years  and years some people still cry when they speak of the deceased. Maybe that African tribe sense the possibility of continuous grief, that's why they decided to stop at some point. They don't want to cry when they speak about their dead relatives or friends, that's why they set the rule about it. How simple.

But then in our complex lives, simplicity is sometimes the hardest thing to achieve. We think, act, work, speak in complications and complexity on daily basis that it is so difficult for us to simplify everything. We pay attention to details, but many times we forgot the bigger picture. We focus on the big picture and forgot to frame it. Nothing is simple anymore. Simplicity seems like luxurious matter that is unaffordable.

After we live our complex lives, we are busy trying hard to be memorable for everyone. But the question is, "Do you want to be remembered?" - Some people want to be remembered through their wealth. Some through their fame. Some other through achievements. Do we want people to remember us now, tomorrow, next week, next year, ten years from now or after we die? Do they (the dead) want to be remembered? And how can we be sure about it?

Let's go back to that tribe in Africa. Can't we learn anything from them? They have a simple way to move on and that's wonderful. They believe that only by getting on with their lives, the dead will rest in peace eventually. A single shed of tear will make the spirits restless. And when they are restless, they cannot go to heaven. So, if you love them, you have to stop mourning soon. And if speaking about them mourns you, maybe you should stop doing it. 

Here, if we refused to speak about the dead, people would think we haven't moved on. They think that we are still clinging on to the memories. But really, how can we forget if we are forced to remember all the time? Here, they say when we speak of the dead, it means we already let go. But does it really? Does it really mean we let go or we discreetly deny the reality and try to work our way through denial? How different to that African tribe. But which one do you think is better? As for me, I think the African tribe has the wisdom more. I shouldn't speak of the dead because we're in a different dimension now. There's nothing I can do about it, so I might as well just get on with my life. There are many ways to remember them, but speaking about them will be the last on my list...


Wednesday, 7 November 2012

Yang Tertinggal

Pramusaji itu meletakkan secangkir kopi jahe di mejanya. “Danebat…” ujar perempuan itu. Terima kasih. Bar berlantai dua itu tidak terlalu ramai. Perempuan itu duduk di balkon sambil memandang kesibukan di Tamil Street, surga para backpackers. Di mana losmen-losmen murah tersedia dan deretan toko serta bar dengan harga luar biasa murah berada. Perempuan itu singgah di Kathmandu untuk beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanannya ke Pokhara.

Meja-meja dengan menara sheesha. Kepulan asap beraroma manis bercampur dengan asap candu. Momo, makanan ringan dengan isi daging kerbau. Alunan music reggae yang sayup terdengar. Gelak tawa turis-turis yang singgah di Kathmandu sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju Taman Nasional. Kathmandu seperti perawan desa yang tak kenal make-up. Cantik. Lugu. Menarik perhatian. Perempuan itu duduk sendiri sambil menulis jurnal perjalanannya. Sesekali asap rokok mengepul dari bibirnya. Semua orang duduk berkelompok. Hanya dia saja yang duduk seorang diri. Kesendirian adalah teman sejatinya. Sejak kepindahannya ke Johannesburg, perempuan itu seolah memutus komunikasi dengan kehidupan lamanya di tanah air. Setahun telah berlalu dan dia tak pernah pulang sekali pun. Waktu luangnya digunakan untuk bepergian ke negeri-negeri eksotis lain, seperti Nepal.

Perempuan itu boleh saja memutus komunikasi dengan kehidupan lamanya, namun kenangan dalam otaknya tak bisa hilang. Dia masih sering melihat kelebat lelaki itu di dalam kepalanya. Kadang dia seolah melihat lelaki itu di jalanan Johannesburg. Di tengah deretan rumah kumuh di Nairobi. Di dalam subway di Manhattan. Di tepi Danau Jenewa. Di bawah menara Eiffel. Di trotoar Mexico City. Di dekat gedung opera Wina. DI tengah-tengah pasar Quiapo Manila. Di pinggiran jembatan London. Di mana-mana. Wajah lelaki itu seolah mengikuti kemana pun dia pergi. Lalu apa gunanya memutus kontak, jika abstraksinya tetap membuntuti? Kemana pun dia pergi, wajah lelaki itu tertinggal dalam pikirannya.

Empat jam berlalu sudah. Perempuan itu merapatkan jaketnya. Kathmandu di bulan November dipenuhi dengan hawa dingin. Musim dingin yang kering dan berdebu. Perempuan itu membayar gelas-gelas kopi jahenya lalu beranjak pergi. Menyusuri jalan sempit di Tamil Street yang gempita dengan nyala lampu dan deru genset. Melewati toko-toko kecil penuh warna, lalu berbelok menuju losmen tempatnya menginap. Sudah cukup dia berada di luar, di tengah dinginnya malam. Kini waktunya kembali ke kamar. Esok perempuan itu harus terbang menuju Pokhara.

**
Lelaki itu turun dari sebuah bar dengan lintingan candu di tangannya. Salah satu candu terbaik di dunia. Begitu dia selalu mendengar. Kakinya menyusuri jalanan sempit itu. Pikirannya melayang kepada sosok yang telah lama hilang dari hidupnya. Tidak. Perempuan itu bukan mati. Dia hanya menghilang. Tak bisa ditelusuri keberadaannya. Perempuan itu seperti menguap di udara. Puluhan email telah dikirimkannya. Semua kembali ke kotak masuknya dengan pesan yang sama; Mail Delivery Returned – user unknown. Frustrasi telah mulai merasuki jiwanya. Sudah lewat setahun, dan perempuan itu masih berada di luar jangkauannya.

Hawa dingin mulai menyerang. Angin malam itu cukup kencang. Lelaki itu merapatkan jaketnya lalu memasukkan satu tangannya ke dalam saku. Candu itu tak banyak membantunya menghangatkan tubuhnya malam itu. Jalan sempit yang ramai itu sungguh menarik. Penuh dengan manusia dari berbagai ras dan warna. Tiba-tiba di kejauhan lelaki itu melihat kelebat sosok yang sangat dikenalnya. Dia terhenti sejenak. Seolah tersentak dan mencoba memastikan bahwa matanya tidak sedang melakukan tipuan optik. Perempuan itu merapatkan jaketnya, lalu mulai berjalan. Lelaki itu hampir yakin bahwa itu adalah sosok yang selama ini dirindukannya. Rambutnya sudah panjang, tapi lelaki itu hafal setiap gerak-geriknya. Bahasa tubuhnya. Caranya berjalan. Semuanya. Dia pun bergegas melangkah cepat-cepat, mencoba mengejar sosok di kejauhan itu. Namun sosok perempuan itu hilang ditelan kerumunan turis yang datang dari arah berlawanan. Lelaki itu mencari dan mencari, namun sosok itu seperti hilang ditelan gelapnya malam dan dinginnya angin yang bertiup di tengah Tamil Street. Hanya bayangannya saja yang tertinggal….

Sunday, 4 November 2012

Yang Tersembunyi [the ending]



Perempuan itu mengemasi barang-barangnya. Dia bolak-balik memeriksa telepon genggamnya. Tidak terkirim semua….” Keluhnya dalam hati. Lalu ia meneruskan pekerjaannya hingga semua barangnya rapi dalam 2 buah koper besar. “Africa, here I go…” ujarnya lagi dalam hati. Lelaki itu belum juga menerima pesan-pesannya. Semua pesan yang dikirimnya berakhir dengan tanda silang, tak terkirim. Perempuan itu menghela nafas lalu duduk di tepi tempat tidur.

Sudah tiga minggu ini dia mencoba menghubungi lelaki itu namun tampaknya dia sangat sibuk dengan pekerjaannya. Dia sedang ditugaskan ke luar daerah. Sebuah daerah terpencil yang sepertinya tidak terjamah koneksi internet, bahkan signal telepon seluler pun tak mudah diterima. Perempuan itu bimbang. Dia harus berangkat malam itu menuju sebuah negeri yang jauh, di mana pekerjaan telah menantinya dan dia belum sempat memberitahu lelaki itu. Semuanya terjadi begitu cepat. Email yang menyatakan dia telah diterima bekerja di negeri jauh itu datang kurang lebih tiga minggu yang lalu, hanya selang sehari setelah keberangkatan lelaki itu. Dua minggu kemudian perempuan itu telah mengantongi tiket dan visa kerjanya untuk berangkat malam ini. Sudah puluhan bahkan mungkin ratusan pesan singkat yang dikirimkannya kepada lelaki itu, tapi tak satu pun yang terkirim. Perempuan itu tak tahu apa lagi yang harus dilakukannya.

Perempuan telah memutuskan untuk menerima pekerjaan itu agar dia bisa belajar melupakan lelaki itu. Lelaki yang didambakannya, namun hatinya sepertinya telah diberikan kepada perempuan lain. Meski demikian, dia tak ingin pergi tanpa pesan. Pesan terakhir untuk lelaki itu. Pesan yang paling penting yang harus disampaikannya…

Akhirnya perempuan itu membuka laptopnya. “Katakan apa yang kamu rasakan untuknya… Tuliskan, lalu kirimkan untuknya…” ujarnya dalam hati, mengulang saran yang pernah diberikannya kepada lelaki itu. Saran yang seharusnya ditujukan kepada dirinya sendiri. Saran yang seharusnya dilakukannya sendiri sejak lama. Lalu dia mulai mengetik…

**
Lelaki itu turun dari taksi yang membawanya dari lapangan udara. Dia masuk ke kamarnya dan segera membongkar tas ranselnya untuk mengeluarkan laptopnya. Tiga minggu lebih dia berada di tempat yang tak tersentuh koneksi internet, tak ada signal telepon seluler. Dia benar-benar terputus komunikasi dengan dunia luar. Dengan perempuan itu… Bergegas lelaki itu menyalakan laptopnya. Telepon selulernya tak menunjukkan tanda-tanda adanya pesan masuk.

Ketika membuka kotak surat masuknya, dia mendapati nama perempuan itu telah ada di kolom pengirim. Segera dibukanya email dari perempuan itu dan mulai membacanya….

From: larasati@gmail.com
Subject: Itu aku…

Hey, kamu…
Ya, kamu yang tiga minggu sudah berada di luar jangkauan. Kamu mungkin berada di luar jangkauan koneksi internet dan signal telepon seluler selama tiga minggu, tetapi kamu sudah berada di luar jangkauanku selama lebih dari dua tahun….

Aku hanya ingin sampaikan kepadamu bahwa aku sudah berangkat ke Afrika untuk sebuah pekerjaan yang memang aku inginkan. Bukannya aku ingin pergi tanpa memberitahu kamu, tapi sudah banyak pesan singkat yang aku coba kirimkan kepadamu dan gagal terkirim. Bukan salahmu…

Anyway, kamu masih ingat ketika aku menyarankan kamu untuk mengungkapkan perasaanmu kepada perempuan yang kamu sukai? Sejujurnya, aku mungkin lebih membutuhkan saran itu daripada kamu. Aku. Ya, aku… Kamu selalu mendengar tentang sesosok lelaki yang aku sayangi selama ini. Sosok yang membuatku terjaga hampir setiap malam. Sosok yang aku inginkan untuk memelukku dari belakang ketika melihat pemandangan di puncak gedung. Sosok yang akan aku bohongi ketika hawa di gunung mulai dingin hanya agar dia memelukku. Sosok yang aku khayalkan memelukku sambil bersama-sama menikmati butiran hujan yang jatuh. Sosok yang selalu aku katakan kepadamu bahwa sepertinya hatinya sudah diberikan kepada perempuan lain. Kamu ingat? Aku hanya ingin mengatakan kepadamu bahwa sosok itu adalah kamu…

Ya, lelaki itu kamu… tapi aku tahu kamu sedang menunggu perempuan lain. Maka aku rasa menjauh darimu adalah hal terbaik yang harus aku lakukan, karena aku tak tahu apakah aku mampu menahan diri dan perasaanku jika suatu saat nanti kamu akhirnya mengenalkan perempuan itu kepadaku. Memang aku bersikap biasa saja dengan semua pacarmu. Tapi itu dulu, kali ini aku tak yakin aku mampu seperti itu lagi. Maka sebelum semuanya berubah menjadi aneh dan tak nyaman, aku memilih pergi. Maafkan aku… Aku menyayangi kamu, tapi “mencintai tak harus memiliki” tak pernah ada dalam kamusku. Denganmu, aku tak sanggup jika tak memiliki tapi harus berdekatan. Pergi adalah jalan terbaik untuk kita berdua. Aku memang pengecut. Hanya berani memendam rasa dan kemudian pergi darimu. Tapi aku tidak ingin merusak kebahagiaanmu bersama perempuan itu. Semoga kamu bisa berbahagia dengannya, siapa pun perempuan yang sedang kamu tunggu itu… Aku setulusnya berharap kamu bahagia, tapi maafkan jika aku tak punya cukup kekuatan untuk terus menjadi temanmu… Semoga kamu dapati hati yang tulus mencintaimu, meski bukan aku....

Terima kasih untuk segalanya….

- Aku

PS: Ingat lagu yang terselip dalam amplop di bukumu? Itu juga aku…


**
Lelaki itu tertegun. Matanya tak lepas menatap layar laptopnya. Dibacanya email itu berulang kali hanya untuk memastikan apakah dia tak salah baca. Isinya tetap sama. Perempuan itu… Dia telah salah sangka selama ini!

Lelaki itu dengan segera menekan tombol “Reply” lalu mulai mengetik…

To: larasati@gmail.com
Subject: RE: Itu aku…

Hey, kamu…
Kamu mungkin tidak tahu sekaget apa aku membaca emailmu… Tentu aku masih ingat saranmu tentang mengungkapkan perasaan kepada perempuan yang aku sayangi. Dan seharusnya memang aku melakukannya sejak dulu, tak perlu menunggu terlalu lama seperti ini, karena perempuan itu adalah kamu! Kamu lah yang aku tunggu… Aku tak pernah yakin dan aku selalu mengira kamu menginginkan lelaki lain. Maafkan aku yang terlalu lama menunda…

Kamu lah perempuan yang ingin aku peluk ketika kita berada di atas gedung tinggi itu. Kamu yang ingin aku rengkuh saat kita ada di bukit itu. Kamu, kamu dan hanya kamu…. Aku lah yang mengirim lirik lagu itu dan menyelipkannya di dalam daily planner-mu. Aku juga yang mengirimkan lagu kesukaanmu itu lewat akun email anonim. Kamu tidak tahu... Aku tidak tahu… Kita sama-sama tidak tahu, tapi biarkan aku menunggumu kembali, asalkan kamu kembali kepadaku. Aku pasti akan menunggumu. Maafkan aku… aku sayang kamu…

Yours,
- Aku –

**
Lelaki itu menekan tombol “Send”. Perasaannya campur aduk. Ada senang, sedih dan kaget. Senang karena ternyata perempuan itu memiliki perasaan yang sama dengannya. Sedih karena sekarang perempuan itu telah berada di negeri yang sangat jauh. dan kaget karena tak menyangka bahwa apa yang dirasakannya ternyata sama dengan apa yang dirasa perempuan itu.
Tiba-tiba terdengar bunyi email notification di laptopnya. Lelaki itu membuka kotak masuk emailnya….

Mail Delivery Returned – user unknown
It looks like you have sent an email to an unknown user or an inactive email account. Please, check the address and make sure you have put the correct email address.

--- THE END ---

Yang Tersembunyi VI


Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang di senja yang cerah. Lelaki itu di balik kemudi. Perempuan itu di sampingnya sibuk memilih lagu.

Lelaki: Jadi, mau kemana kita?
Perempuan: Kemana saja.
Lelaki: Klasik sekali jawabanmu.
Lelaki itu menjawab sambil tertawa kecil.
Perempuan: Kemana saja… asal tempat yang tinggi.
Lelaki: Gedung atau gunung?
Perempuan: Bebas.
Lelaki: Oke…

**
Dua orang itu duduk di atap sebuah gedung berlantai 56. Memandang senja yang turun di kota itu. Matahari terlihat sangat dekat, warnanya menjingga. Langit mulai mengeluarkan semburat warna lembayung. Keduanya duduk dalam diam. Angin senja bertiup kencang di puncak gedung itu.

Perempuan itu beranjak berdiri. Wajahnya terlihat kesal bercampur sedih. Lelaki itu ikut berdiri di sampingnya, lalu menoleh, menekuri wajah perempuan itu.

Lelaki: Kamu kenapa?
Perempuan itu menghela nafas panjang.
Perempuan: Pemandangannnya bagus ya? Senjanya juga indah…
Ujarnya dengan pandangan menerawang jauh. Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah kota yang terhampar. Lalu menghela nafas juga.
Lelaki: Iya…
Perempuan: Nyaris sempurna….
Gumam perempuan itu. Lelaki itu menoleh sejenak,
Lelaki: Nyaris?
Tanyanya sebelum kembali memandangi hamparan gedung yang mulai menyalakan lampu-lampunya.
Perempuan: Iya. Nyaris.
Lelaki: Kenapa “nyaris”…?
Perempuan itu kembali menghela nafasnya dengan berat… Lalu terdiam sejenak. Seolah ragu dengan apa yang hendak diucapakannya.

Lelaki: Kenapa?
Perempuan: Hmm? Ah… karena tidak ada yang memelukku saat menikmati keindahan ini…

“Tapi aku di sini… aku mau memelukmu sambil menikmati semua ini… Kamu benar, begitu baru sempurna…” Lelaki itu membatin.

Lelaki: Hmmm…. Aku bisa mengerti…. Aku juga merasakan hal yang serupa.
Perempuan: Oya?
Lelaki: Iya… Andai aku bisa memeluknya sekarang… Tentu semuanya sempurna….

“Tapi aku di sini… Kamu bisa memelukku!” jerit perempuan itu dalam hatinya.

Lalu keduanya kembali jatuh dalam keheningan, seiring langit senja yang menua dan matahari yang semakin meredup. Lampu-lampu kota sudah hampir semua menyala. Lelaki itu dengan angannya. Perempuan itu dengan mimpinya. Berdua mereka menikmati hamparan lautan lampu di hadapan mereka. Dalam hati mereka saling memeluk dan tangan-tangan mereka saling bertaut…


[Jakarta, 4 November 2012]