"Rat, gua tau kita nggak terlalu deket. Tapi gua nggak tau harus minta tolong sama siapa lagi. Gua nggak tau siapa-siapa lagi di KL selain lu. Lu mau kan bantuin gua?"
Aku ingat chatting kita hari itu di YM. Kamu bilang harus operasi jantung dan kamu memilih Malaysia. Lalu yang aku ingat berikutnya adalah aku sibuk mencarikan apartemen untukmu. Tiga minggu kemudian kamu tiba bersama 2 orang teman dan ibumu. Lalu kita pergi bersama, makan nasi ayam Hainan, ngopi di DOME KLCC, jalan-jalan ke Petaling Street. Setelah lewat seminggu, kamu memutuskan kembali dan batal operasi karena masalah manajemen di rumah sakit itu.
"Rat, boleh nggak Nining nginep di tempat gua? Gua takut malem-malem gua kenapa-kenapa dan cuma sendirian."
Kamu bertanya padaku ketika sedang didorong keluar dengan kursi roda dari area Global Village di Mexico. Aku mengangguk. Lalu aku dan Nining sibuk menertawakanmu, "Ah, lu dandanan sih rocker abis. Tapi pake oksigen sama kursi roda. Anti klimaks banget deh!" Kamu ikut tertawa. Lalu malam itu aku biarkan Nining, teman sekamarku, menginap di kamar hotelmu. Esoknya kamu pulang ke Jakarta. Hanya dua hari kita bersama di Mexico. Kamu tidak kuat dengan tipisnya oksigen di tempat konferensi itu dan luasnya area yang harus dilewati dengan berjalan kaki setiap harinya.
"Rat, makasih ya, udah rekomendasiin gua jadi juri lomba foto! Seneng banget gua! Gila!"
Waktu itu aku memang hanya terpikir kamu, Lan. Kamu berkutat dengan komunitas dan kamu jago fotografi. Jadi, ketika aku tidak bisa jadi juri, namamu lah yang pertama kali terlintas dalam pikiranku.
"Rat, menurut lu gua bagusnya gimana? Lembaga gua diserang habis-habisan di milis. Tau lah lu, gara-gara training kemarin itu..."
Lalu kita sibuk saling bertukar solusi terbaik untuk situasimu saat itu. Serangan yang kamu terima memang bertubi-tubi. Cacian dan makian dalam kemasan yang seolah sebuah kritik konstruktif terus kamu terima. Aku tahu kamu kalut. Kamu katakan itu kepadaku. Bebanmu besar sebagai pemimpin dan kamu harus tetap bersikap tenang. Padahal dalam hati kamu sudah tidak tahan membaca semua cercaan yang ditujukan kepada lembagamu. Aku senang akhirnya masalah itu terselesaikan dengan baik. Persis seperti yang kita prediksi bersama, Lan.
"Rat, gua nggak jadi operasi jantung. Dokter-dokter di sini bilang kemungkinannya cuma 30:70. Gua bisa meninggal di meja operasi. Gua mau pulang aja. Terapi alternatif."
Begitu lah kabar yang aku terima ketika kamu di Australia. Aku hanya bisa mendukung keputusanmu, Lan. Senangkan dan isi hidupmu dengan hal-hal yang kamu suka. Lakukan apa yang kamu suka. Hidup dan mati bukan kita yang menentukan.
"Rat, gua pengen ngobrol sama lu, ada waktu nggak?"
Lalu sejurus kemudian pesan-pesanmu mengalir lewat BBM. Kamu hampir menikah saat itu. Ada sedikit bimbang. Aku hanya bisa mengembalikan semua keputusan ke tanganmu. Hanya kamu yang tahu apa yang terbaik untuk dirimu, Lan. Beberapa bulan kemudian kamu mengirim undangan pernikahanmu. Aku memang tak bisa datang, tapi kamu tahu aku mendukungmu. Selalu, Lan...
"Rat, gua mau motret lu. Kapan lu bisa?"
Sepertinya dua minggu kemudian kita janjian di PIM. Kamu potret aku dan sahabatku. Ketika kita makan, kamu menghela nafas berat sambil mengeluarkan sekantong obat-obatan. "Lu nggak apa-apa?" aku bertanya. "Capek gua, Rat. Capek minum obat sebanyak ini" begitu jawabmu. Tapi kamu tetap meminum obat-obatmu.
"Rat, pertemanan kita ini aneh ya? Kita nggak terlalu deket. Nggak akrab-akrab banget. Nggak pernah jalan atau nongkrong bareng, tapi kita kayaknya selalu saling mencari kalo ada apa-apa ya?"
Begitu katamu kepadaku. Aku hanya tertawa. Teman itu seharusnya memang seperti bintang. Tidak perlu selalu terlihat, tapi kita tahu mereka ada di sana. Itu prinsipku, Lan dan kamu tahu itu.
"Rat, gua mau bikin acara talk show tentang perempuan dan HIV. Gua mau lu jadi narasumbernya ya?"
Tentu saja aku setuju. Beberapa minggu setelah acara itu selesai, kamu bilang padaku bahwa kamu akan membuat acara-acara serupa itu tahun berikutnya dan kamu ingin aku terlibat. Tapi itu adalah acara terakhir kita. Tahun sudah berganti, rencana belum terlaksana tapi kamu sudah pergi, Lan.
Ya, Lan... pertemanan kita memang aneh. Tapi tetap saja sebuah pertemanan. Tidak ada saling ketergantungan, tapi kita sama-sama tahu bahwa kita bisa saling mengandalkan. Bukankah lebih indah begitu?
Pertemanan kita berkembang dari "gua tau kita nggak terlalu deket" hingga menjadi "gua mau lu jadi narasumbernya".
Kamu ada dalam kenanganku, Lan. Selalu. Aku sudah banyak kehilangan teman, tapi kehilangan kamu adalah yang terberat yang aku rasakan sampai saat ini. Terima kasih karena kamu sudah meminta bantuanku ketika kamu akan pergi ke KL. Saat itu kamu membuka pintu pertemanan denganku. Aku bangga karena kamu adalah seorang pejuang, Lan. Kamu berjuang hingga hela nafas terakhirmu.
Selamat jalan, Wulan... Selamat menjadi penghuni surga bersama teman-teman kita yang lain. Aku pasti akan rindu padamu. Rindu tulisan-tulisanmu. Rindu hasil-hasil jepretan kameramu.
No comments:
Post a Comment