Perempuan
muda itu duduk di hadapanku di sebuah resto pizza. Perutnya membuncit karena ia
sedang hamil 7 bulan. Bahunya naik turun karena sedu sedan yang keluar dari
tangisnya, sementara di tangannya ia memegang selembar kertas. Orang-orang
mencuri pandang ke arah kami. Bertanya-tanya apa gerangan yang sedang
berlangsung antara kami. Dee, perempuan itu mendongakkan kepalanya, ada 2 jalur
air mata di pipinya. Ekspresi wajahnya campur aduk antara sedih dan marah.
“Ini
serius, Ra???” tanyanya padaku. Aku menghela nafas, “Ya serius lah Dee… masa gue
bohong soal begituan?” ujarku padanya. Dee kembali menekuri lembar kertas di
tangannya. “Terus? Lu mau gimana sekarang? Lu harus labrak dia, Ra! Bajingan
itu…. Kurang ajar!!!” Dee kembali tersedu-sedu. “Sssttt…. Jangan keras-keras,
Dee! Lu lagi hamil besar, duduk di sini sambil nangis kayak gitu. Nanti orang
kira apa pula! Udah ah! Sini, mana hasil tesnya? Kita makan aja sekarang.”
Kataku padanya sambil merebut lembar hasil tes HIV dari tangannya. Dee mengusap
air mata di pipinya, lalu mulai makan sambil merengut.
“Lu seharusnya marah,
Ra! Lu seharusnya datangi rumahnya terus labrak dia. Labrak keluarganya
sekalian! Enak aja dia udah nularin lu terus nggak diapa-apain!” Dee masih saja
penuh emosi. Aku lagi-lagi menghela nafas… “Dengar ya Dee, buat apa gue
marah-marah sama dia? Buang-buang tenaga dan waktu aja. Kalau gue ikuti
kata-kata lu tadi, gue datangi dia terus gue labrak dia habis-habisan, apa itu
semua akan mengubah status gue jadi negatif lagi?” aku mencoba menuntun
logikaku pada Dee. “Ya nggak sih….” Ujarnya, “Nah! Terus apa yang gue dapat
dong? Capek aja ‘kan?” imbuhku. Dee masih makan sambil merengut namun tak
membantah argumenku.
Aku
mengerti perasaan Dee. Sebagai sahabat, Dee marah dan sedih atas apa yang menimpaku,
namun melabrak mantan suamiku bukanlah solusi. Dee dan aku sudah berteman cukup
lama; dan dia berhak tahu atas kebenaran yang ada. Aku mengidap HIV. Hari ini,
15 Mei 2006 aku mengetahuinya. “Dee, gue ngasih tahu lu soal hasil tes ini
karena lu adalah sahabat gue dan lu berhak tahu. Kalau setelah ini lu nggak mau
berteman lagi sama gue, gue bisa ngerti kok…. Tapi yang penting, gue udah jujur
sama lu.” Aku masuk ke bagian utama mengapa aku mengajaknya makan siang hari
ini. Mendengar penjelasanku Dee berhenti makan, “Sudah deh! Masa gue nggak mau temenan
sama lu lagi hanya gara-gara status HIV lu itu? Please deh, Ra…” Aku hanya mengangkat bahu, “Gue cuma mau minta
tolong satu hal aja sama lu, Dee…” sambungku. “Apaan tuh?” tanyanya sambil
menyuapkan potongan pizza terakhir di piringnya. “Kalau ada yang tanya soal
status gue, lu bilang apa adanya ya? Tapi kalau nggak ditanya, lu nggak usah ngomong
apa-apa…” Dee menghela nafas, lalu mengangguk. Entah kenapa ia terlihat jauh
lebih sulit menerima kenyataan ini dibandingkan aku, yang notabene mengalami
semuanya sendiri. Dee lalu berusaha mengalihkan pembicaraan ke topik lain.
Bukan untuk menjaga perasaanku, tapi untuk menjaga emosinya sendiri. Aku
mengerti. Dan aku masih punya sederet nama yang harus aku beritahu…
Setibanya
kembali di kantor aku mengirim pesan singkat kepada beberapa temanku yang lain:
Eddoy, Dusy, Eko dan Bimbim. “Karena lu
sahabat gue, gue merasa lu berhak tahu bahwa gue baru aja tes dan gue mengidap
HIV. Kalau setelah lu tahu tentang status gue ini, lu nggak mau berteman lagi sama
gue, gue bisa ngerti….” Pesan singkat dengan isi yang serupa itu aku
kirimkan bersamaan. Lalu aku lupakan. Aku tak menunggu jawaban ataupun
tanggapan dari mereka. Tak perlu….
Keesokan
harinya giliran teman-teman sekantorku yang aku beritahu. Nenon, sekretaris
departemenku, lalu Reza & Diana, Sales
Executive hotel tempatku bekerja. Kami makan siang bersama di Braga
CityWalk. Lalu aku membuka pembicaraan dengan kalimat yang sama, “Aku rasa
kalian berhak tahu ada kejadian apa. Kemarin waktu aku ambil izin setengah
hari, sebenarnya aku pergi untuk tes HIV…. Dan hasilnya positif….” Ujarku
sambil menyuap nasi ke mulutku. Nenon, Reza dan Diana serta merta menghentikan
kegiatan makan mereka dan menatapku. “Mbak Ra…. Kok bisa….?” Reza lah yang
pertama memecah kebisuan. “Mantan suamiku, Za. Dia kan dulunya pengguna napza
suntik…” ujarku tenang. “Ya ampun Mbak… tapi… kok Mbak nggak…” Diana tidak
melanjutkan kalimatnya. “Nggak kelihatan sakit?” sambarku sambil tertawa, “Nggak
semua yang mengidap HIV itu terkapar di tempat tidur, Di… ternyata perlu waktu
cukup lama untuk sampai ke fase itu.” Imbuhku. “Aku…. Aku kaget banget Mbak…
Soalnya aku belum pernah punya teman yang mengidap HIV. Kalau dengar soal
HIV-nya sih aku sudah sering…” Nenon akhirnya bersuara. “Tapi Mbak nggak
apa-apa ‘kan? Maksudku, kondisi Mbak Ra masih bagus ‘kan?” tambahnya
cepat-cepat. “Yaaa seperti yang kalian lihat sendiri ini. Aku masih sehat!” aku
menjawab ringan, berusaha melelehkan ketegangan yang ada. “Sudah ah! Aku ngasih
tahu kalian ‘kan tujuannya untuk keterbukaan dan kejujuran, jadi jangan jadi
tegang gitu dong. Tapi… kalau setelah ini kalian memutuskan untuk nggak mau
kenal sama aku lagi, aku bisa ngerti lho…” selalu aku tutup dengan kalimat itu,
agar semua orang tahu bahwa aku mampu berlapang dada menghadapi segala resiko
dari keterbukaanku ini. “Aduh Mbak… segitunya…” ujar Reza yang disambut oleh
pernyataan yang sama dari Nenon dan Diana. Dan siang pun berlalu sebagaimana
siang-siang sebelumnya. Seolah tak pernah ada percakapan tentang status HIV-ku.
Normal saja seperti hari-hari lainnya.
Sore
harinya sepulang kerja aku bertemu dengan Dee di BSM. Kami akan makan malam
bersama sambil bergosip tentang tempat kerja masing-masing. Ketika sedang window shopping dengan Dee, tiba-tiba
telepon selularku berdering. Eddoy.
“Ra, lagi di mana lu?”
“Di BSM, Doy… sama Dee nih…”
“Nanti gue, Dusy sama Eko nyusul ke
sana ya? Sebentar lagi selesai kerja kok…”
“Okay… ditunggu yaaa….”
Lalu aku memutuskan sambungan dan menoleh kepada Dee. “Eddoy, Dusy sama Eko
nanti mau nyusul ke sini.” Kataku. “Oya? Asyiknyaaa… kita jadi punya tebengan
pulang! Hahaha!” Dee berkata dengan sembarangan. Lalu kami pun meneruskan
berjalan sampai ke pujasera di lantai paling atas. Dee tampak berusaha keras
untuk bersikap santai. Agaknya ia masih sulit mencerna apa yang sebenarnya
telah terjadi, tapi ia selalu berusaha menghindar dari topik HIV atau
kesehatan.
Sekira
30 menit kemudian ketiga sahabatku datang dengan wajah sumringah. “Halo Ra!”
sapa mereka. Seperti biasa kami saling mencium pipi kiri dan kanan, lalu mereka
duduk bergabung dengan aku dan Dee. Setelah mengobrol kesana kemari tanpa topik
yang jelas, akhirnya Eddoy mengusulkan agar kami makan malam di Kafe Halaman
saja karena suasananya jauh lebih enak. Kami pun setuju dan segera beranjak
berdiri. “Rara sama Dee ikut Eko aja pakai mobil.” Perintah Dusy, kami berdua
menurut. Namun ketika berjalan ke area parkir, aku merasakan ada sedikit
keganjilan. Eddoy, sangat aktif mengajakku bicara, sementara Dee berjalan di
depan kami diapit Dusy dan Eko. Tak lama kemudian, Dusy berhenti untuk
menungguku lalu berjalan di sebelahku, sementara Eddoy berjalan cepat mengejar
Dee dan Eko. Lagi-lagi Dusy sangat cerewet dan menggodaku seperti biasanya.
Belum lagi tuntas candaku dengan Dusy, Eko sudah menghampiri dan merangkul
bahuku sambil berjalan. Dia lalu mulai berceloteh tentang gadis-gadis yang
sedang didekatinya sampai akhirnya kami tiba di mobilnya.
Suasana
Kafe Halaman malam itu tidak terlalu ramai. Setelah memesan makanan dan
minuman, kami pun mulai mengobrol seperti biasa sampai pada akhirnya Eddoy buka
suara, “Ra, itu SMS lu beneran?” Aku memutar bola mataku, “Buset dah, Doy…
Ngapain sih gue bohong?” ujarku. “Ya nggak… maksudnya, lu beneran nyangkain
kita nggak mau temenan lagi sama lu setelah tahu status lu?” jelas Dusy. “Laaaah
gue ‘kan harus siap dengan segala resiko dan konsekuensinya doooong! Prepare for the worst, hope for the best!”
balasku. Mereka semua tertawa. “Sebenernya tadi di BSM mereka ini tanya sama
gue, Ra… tapi gue bilang ya tanya langsung aja sama lu. Kenapa juga harus ke
gue?” imbuh Dee. “Yaaaa ‘kan nggak apa-apa Dee… cross check aja.” Eko yang tertua di antara kami angkat bicara.
“Tapi lu itu bener-bener ya, Ra….” Kalimat yang keluar dari mulut Eddoy
menggantung begitu saja. “Bener-bener apaan, Doy?” sanggahku. “Bener-bener
kampungan lu, Ra! Masa lu ngira kita pikirannya sedangkal itu sih? Gila lu ya?”
sambar Dusy sambil tertawa-tawa. Aku ikut tertawa bersama mereka. “Nggak lah, Ra….
Nggak segitunya! Santai aja…” dan kami pun melewatkan malam itu seperti halnya
malam-malam akhir pekan lain. Tertawa, bergosip, mengerjai Dee dan saling
mencela sebagai sahabat.
Selang
beberapa hari kemudian, ketika aku sedang di kantor tiba-tiba telepon selularku
berdering. Bimbim. Sahabatku yang satu ini sejak beberapa tahun terakhir ini
tinggal di Yogyakarta. Pasti dia sudah baca pesan singkatku. Tak seperti
teman-temanku yang lain, ia butuh beberapa hari untuk merespon, maka aku
mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Ada sedikit kegentaran dalam
hatiku ketika memikirkan kemungkinan terburuk yang menantiku. Bimbim berbeda
dengan teman-temanku yang lain. Bentuk persahabatan kami unik dan dipererat
dengan kesukaan kami pada mobil VW. Bimbim adalah seorang pembalap dan lucunya,
ayahnya dulu adalah dosen ayahku di Fakultas Seni Rupa ITB. Banyak hal yang
menjadi penghubung dalam pertemanan kami berdua. Aku rasanya tidak siap jika
harus kehilangan dia… tapi aku harus berani menghadapi kemungkinan terburuk
yang menjadi hasil dari keputusanku sendiri.
“Halo Bimski….”
Sapaku dengan tengil. Biasanya Bimbim selalu protes kalau aku memanggilnya
‘Bimski’.
“Hai Ra…. Lagi di mana?”
terdengar suaranya yang berat dengan sedikit sentuhan logat Jawa di ujung sana.
Khas Bimbim. Tapi kali ini terdengar lebih serius dari biasanya dan ia tidak
protes dengan panggilan ‘Bimski’.
“Di kantor, Bim. Kenapa?”
“Nggak. Nggak apa-apa. Aku ganggu
nggak?” tidak seperti dengan teman-temanku yang lain,
Bimbim dan aku terbiasa menggunakan “aku” dan “kamu”, bukan “gue” dan “lu”.
Entah kenapa…
“Ah, nggak kok. Ada apa nih? Tumben
kamu telpon aku…” ujarku dengan santai.
“Lho? Kok kamu malah tanya ‘ada
apa’ sih? Aku dong yang harusnya tanya sama kamu, Ra…”
“Ya udah…. Kamu mau tanya apa, Bim?”
kataku sambil tertawa kecil.
“SMS-mu itu…. Beneran, Ra?”
Kenapa
semua orang mempertanyakan kebenaran berita yang datangnya langsung dari aku
sebagai sumbernya? Apakah ini merupakan bentuk penyangkalan pada teman-temanku,
ataukah terlalu banyak orang yang membanyol tentang HIV? Atau mungkinkah karena
orang tidak pernah terpikir bahwa aku, yang tidak pernah menggunakan napza
suntik, bisa terinfeksi juga? Aku bingung… sungguh bingung…
“Menurut kamu sendiri gimana, Bim…
Apa kamu suka bercanda tentang hal-hal seperti itu? Etis nggak kalau itu cuma
banyolan April Mop aja?” tanyaku pada Bimbim.
“Ya nggak sih…. Makanya aku tanya
sama kamu, Ra….”
Aku
menghela nafas, “Beneran kok Bim… Apa
perlu hasil tesnya aku kirim ke Yogya?” aku mencandainya.
“Nggak usah, Ra…”
kemudian hening sejenak….
“Jadi….?”
Aku mencoba memecah kebisuan di antara kami.
“Jadi apa?”
“Jadi gimana…. Apa ini terakhir
kalinya kamu ngehubungi aku, Bim?”
Hening
sejenak…. “Kamu kok kampungan sih, Ra….?”
Lagi-lagi sebutan kampungan yang aku terima… hmmm…
“Yaaa…. Aku ‘kan harus siap buat
segala kemungkinan, Bim… kok malah dibilang ‘kampungan’ siiih?”
“Kalau aku mutusin pertemanan sama
kamu cuma gara-gara tahu kamu punya HIV, ya berarti aku kampungan. Tapi kalau
kamu pikir otakku sedangkal itu, ya itu artinya kamu yang kampungan, Ra….” Bimbim menjawab sambil tertawa kecil.
Aku
tidak bisa berkata apa-apa, hanya terkekeh saja, “Hehehehe…. Ya udah…. Makasih ya Bim, karena kamu masih mau jadi
temenku…”
“Iya, Ra… sama-sama… Kamu jaga
kesehatan ya… jangan kecapean… makan yang bener… minum vitamin… Kalau ada
apa-apa…. Kabari aku ya, Ra….” Aku tersenyum sendiri
mendengar nasehat Bimbim. Lalu pembicaraan pun berakhir. Hatiku dipenuhi
kelegaan. Aku tidak kehilangan Bimbim! Tidak pula kehilangan Dee, Eddoy, Dusy
dan Eko! Dan bahkan semua teman-temanku yang akhirnya mengetahui statusku, tak
seorang pun dari mereka yang menjauhiku. Kita memang tidak boleh meremehkan
kebesaran hati orang-orang di sekitar kita.
Kampungan.
Sebutan itu yang menjadi respon dari sahabat-sahabatku atas sikap penuh
antisipasiku. Hingga saat ini pun mereka masih teman-teman baikku. Sahabat-sahabat
yang tidak pernah meninggalkanku. Menerimaku apa adanya dan terus memberikan
dukungan kepadaku. Keputusanku untuk bersikap jujur dan terbuka memang sebuah
spekulasi besar. Tidak semua orang seberuntung aku. Aku mungkin memang sudah
bersikap jujur dan terbuka terhadap mereka. Tetapi yang terpenting dari
semuanya adalah aku sudah bersikap jujur pada diriku sendiri dan menerima
diriku dengan segala keadaanku sekarang. Sikap kampunganku telah membuktikan
bahwa sahabat sejati tidak akan meninggalkan kita walau apapun yang kita alami…
walau bagaimanapun keadaan kita…
[Untuk Dee, Bimbim, Eddoy, Dusy, Eko, Bimbim, Nenon, Reza & Diana – yang tidak pernah peduli dengan status HIV-ku]
di labelsnya non-fiction... wahh semangat mbak! :)
ReplyDeletesalut... inspiring mbak
ReplyDelete