Tuesday 17 September 2013

Cinta Itu Sederhana

[Bukan fiksi - cerita ini adalah sebuah episode dalam kehidupan yang aku alami tahun 2007. Nama karakter & klinik sengaja diubah]

Pagi itu aku tiba di klinik Magnolia agak cepat. Belum lagi pukul 9, tapi pasien sudah berderet. Beberapa wajah yang akrab denganku tersenyum menyapaku. “Selamat pagi….!” Aku menyapa mereka sebelum masuk ke ruang administrasi klinik. “Selamat pagi neng Ratri…” sapa pak Toto, petugas administrasi klinik, dengan ramah. “Pagi, Pak… Udah rame aja ya pak… Baru jam segini...” Ujarku sambil meletakkan tasku dan mengalungkan kartu identitas pendampingku. “Iya nih… Oya, ada ibu hamil yang positif tuh. Datang bareng suaminya. Perlu ngobrol soal proses kelahiran. Nanti tolong di handle ya?” imbuh pak Toto sambil menyodorkan berkas rekam medis kepadaku dan mengarahkan pandangan matanya ke sudut teras klinik. Aku mengikuti pandangan matanya. Di sudut teras ada pasangan muda yang sedang mengobrol. Si perempuan berwajah manis layaknya kembang desa. Si suami berwajah agak tengil. Aku melihat si suami sesekali menggoda istrinya dan si perempuan akan memukul mesra lengan suaminya, “Atuh aaah… Aa mah….” Lalu mereka tertawa terkikik-kikik berdua. “Hmmm…. Manis sekali mereka berdua. Siapa ya mereka?” Begitu pikirku. “Istrinya namanya Eni. Suaminya Amin, ya neng…” pak Toto seolah bisa membaca pikiranku. “Oke pak….” Aku beranjak memanggil mereka untuk masuk ke ruang konsultasi.

“Eni sama Amin yaaa…?” sapaku. Mereka mengangguk. Aku membaca rekam medis mereka, dan bisa merasakan mereka mengawasiku. “Udah masuk bulan ke delapan ya, Ni?” tanyaku lagi. “Iya, Teh… Kebobolan. Da si Aa-na bandel, ngga mau pake kondom siiih…” ujar Eni dengan nada manja sambil mendorong bahu suaminya. Si suami hanya nyengir kuda, “Da kirain teh kalo udah sama-sama positif mah nggak usah pake kondom lagi gitu, Teh….” Jawabnya membela diri. “Iiiih… si Aa mah sok baong ari dibejaan teeeh. Apan tos diwartosan ku dokterna basa eta…”[1] Eni berkata sambil mencubit lengan suaminya. “Aduuuh!!!” Amin menjerit kecil. Aku ikut tertawa. “Ya udah. Udah telanjur kan? Tapi Eni udah ARV[2] ‘kan?” tanyaku. “Udah Teteh… Kan waktu kemaren CD4[3] Eni teh sempet ngedrop teaaa. Jadi sama dokter langsung harus ARV.” Jawabnya. Aku mengangguk tanda mengerti. “Sesuai prosedur untuk ibu hamil yang positif sekarang, Eni harus operasi cesar ya? Nggak bisa melahirkan normal, biar mengurangi resiko penularan ke bayinya. Tapi harus segera nih… Gimana?” Keduanya saling berpandangan… "Kumaha Aa…?”[4] tanya Eni kepada Amin. “Iiih… nya kumaha deui? Kudu atuh eta mah…”[5] jawab si suami sambil tertawa-tawa menggoda. Namun kali ini Eni terlihat serius, sehingga Amin pun serta merta menghentikan guyonannya. “Biayana kumaha….”[6] Aku mendengar Eni berkata lirih kepada Amin. Seketika itu juga kebingungan membayang di wajah Amin. Dia berpaling kepadaku, “Kalo soal biaya… kira-kira berapa ya, Teh…?” tanyanya sambil menggenggam erat tangan istrinya. Cemas menanti jawaban yang keluar dari mulutku.

Biaya. Selalu itu yang menjadi pertanyaan besar dan menakutkan bagi klien-klienku yang kebanyakan berasal dari golongan menengah ke bawah. Betapa mahalnya harga ‘kesehatan’ dan ‘keselamatan’ yang harus mereka bayar. Belum lagi perlakuan tidak adil yang sering mereka terima dari petugas layanan kesehatan. Seolah-olah menegaskan fakta bahwa ‘orang miskin dilarang sakit’. “Saya belum tahu biayanya berapa… tapi kalian kan bisa pakai ASKESKIN. Minta surat keterangan tidak mampu dari RT, RW, Kelurahan dan Kecamatan nanti perawatannya Eni ditanggung negara jadinya.” Paparku. Amin dan Eni mengangguk-angguk. “Itu ngurusnya lama nggak, Teh?” Tanya Amin lagi sambil memandang perut Eni yang membuncit.  Aku berpikir sejenak, “Eni sih harus masuk hari ini juga karena udah hamil tua. Gini aja deh, nanti saya minta tolong dokter dan bagian administrasi di sini supaya Eni bisa masuk ruangan dulu. Tapi kamu, Min, langsung pulang dan langsung urus surat keterangannya hari ini ya? Bisa kan?” aku mengajukan sebuah solusi untuk mereka. “Oooh bisa, Teh… bisa!” jawabnya dengan penuh semangat. “Taah… burukeun Aa… sakalian pang mawakeun baju Eni nya? Da bageur….”[7] Sambar Eni kepada suaminya. “Euh… ieu mah mun aya kahayangna we, karek ngabageuran!”[8] ujar Amin pura-pura ngambek. “Iiih… bae atuh Aa… da kasep nya..?”[9] Eni tetap merayu Amin. Mereka lalu tertawa-tawa. Lepas. Tanpa beban, seolah HIV hanya sekedar sakit flu biasa.

Dua hari kemudian ketika aku datang menengok Eni di rumah sakit, ia sudah menggendong bayi laki-laki yang sehat bernama Rahmat. “Teteh… sini, liat dulu atuuuh! Laki-laki, Teh. Namanya Rahmat. Mudah-mudahan jadi Rahmat buat keluarga Eni ya, Teh…” serunya kepadaku. “Amiiiiin!” jawabku. “Mana si Aa, Ni?” tanyaku ketika tidak mendapati Amin di kamar. “Lagi keluar dulu, Teh. Beli sarapan. Kasian si Aa, nggak tidur semalaman jagain Eni.” Ujarnya padaku. “Lho? Memangnya Eni kenapa?” tanyaku waswas. “Ah, nggak apa-apa Eni-nya mah Teteh. Cuma si Aa-nya aja yang takut. Takut Eni tiba-tiba meninggal, cenah. Soalnya yang ranjang sebelah ini kan kemarin habis melahirkan sehari terus tiba-tiba meninggal, Teh… Jadi si Aa ketakutan…” jelas Eni kepadaku. “Teteh… ruangan ini khusus untuk pasien B20[10] aja ya? B20 teh apa sih?” tiba-tiba Eni bertanya padaku. Aku tercekat. “Siapa yang kasih tau, Eni?” tanyaku padanya. “Nggak ada yang kasih tau sih, cuma Eni denger aja suster-susternya pada bilang ‘B20’ gitu terus nunjuk ke ruangan sini. Terus, di papan yang di tempat tidur itu juga ada tulisannya ‘Ny. Eni B20’. Gitu Teteh…” Eni menjelaskan padaku. Aku tahu, memang Ruang 13 adalah bangsal bersalin khusus untuk ODHA. Aku tersenyum, “B20 itu emang kode untuk pasien yang positif, Ni. Kayak kita-kita ini. Sengaja ditulis B20 biar nggak banyak orang yang ngerti. Kalo ditulis ‘Ny. Eni HIV positif’ gimana, coba? Kan nggak enak ya?” jelasku kepada Eni. “Emangnya kenapa kalo ditulis ‘HIV’ gitu, Teh? Kan emang Eni HIV? Ya nggak apa-apa atuh… Biar dokternya sama susternya juga langsung tau.” Tukasnya polos. Aku tersenyum mendengar kepolosannya. “Tapi banyak yang nggak mau ketahuan, Ni.” Jawabku lagi. “Iiih… kenapa sih? Ya itu kan udah keadaan kita ya, Teh… harus terima dong. Kenapa harus ditutupin? Eni mah nggak malu, tapi nggak ngerti aja kenapa ruangannya harus dipisah gini…” ujarnya lagi. Aku bergeser mendekati Eni, “Jadi gini, Ni… Karena badan kita kan nggak kayak badan orang lain. Istilahnya mah, pagernya kita nggak sekuat pager orang lain, jadi dipisah ruangannya. Biar nggak gampang ketularan penyakit lain. Namanya juga Rumah Sakit, pasti banyak penyakitnya kan?” aku mencoba menjelaskan dengan sesederhana mungkin kepada Eni. Perempuan itu mengangguk-angguk. “Eni mah yang penting si Aa bageur[11], terus Rahmat nanti sehat lah… Biarin aja orang mau ngomong apa juga. Namanya umur mah di tangan Tuhan ya, Teh? Kan penyakit juga banyak, nggak cuma HIV aja. Kalo Eni nggak kena HIV, mungkin aja kena penyakit lain. Lah… mikiran teuing[12]. Eni mah pengen punya keluarga sakinah aja, Teh. Justru ada bagusnya loh, Teh, si Aa positif teh… Biar dia nggak bandel ke perempuan lagi. Hahaha…” Eni mencerocos dengan kepolosan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku hanya tersenyum mendengarkan celotehannya. Kepolosan itu… apakah karena ia bisa menerima keadaannya… karena sudah mengerti benar… ataukah justru karena ia tidak paham apa yang sedang berlangsung dalam hidupnya? Aku tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah Eni melihat semuanya dari sisi lain yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh perempuan pengidap HIV mana pun! Aku kagum dan terharu. Tak sedikit pun tebersit rasa takut dan cemas dalam nada bicaranya. Ada kepasrahan tingkat tinggi dan penerimaan diri yang luar biasa yang bisa aku lihat dalam dirinya. Seorang perempuan dari sebuah desa di utara Bandung bisa menunjukkan kekuatan yang sangat besar lewat cara yang sederhana.

Aku pamit ketika Amin kembali ke ruangan. “Teteh…. Hatur nuhun nyaaa… Meni tos ngarepotkeun ieu duaan teh…”[13] Kata Amin dan Eni sambil menyambut jabat tanganku. “Aaah, nggak ngerepotin kok! Udah kewajiban saya kan? Jangan lupa rajin kontrol ke dokter. ARV-nya jangan pada telat minum ya? Kalo ada apa-apa, telpon saya aja.” jawabku sebelum meninggalkan ruangan. “Iya Teteh…” sahut mereka berdua.

Ketika berlalu dari Ruang 13, aku melihat dari ambang jendela… Eni dan Amin sedang mencandai Rahmat. Keduanya tampak sangat bahagia. Amin mengecup kening Eni dengan penuh cinta, lalu mengecup Rahmat yang masih tidur. Aku berlalu sambil menahan air mata haru… Aku belajar banyak dari mereka berdua. Tentang ketulusan, kesederhanaan, penerimaan diri, pemaafan dan memandang hidup dari sisi yang positif. 

Cinta itu sederhana, hanya butuh saling dukung dan saling menerima dengan lapang dada apa yang sudah menjadi kenyataan di depan mata…


[1] Bahasa Sunda: “Iiih… abang suka bandel kalau diberi tahu ya? Kan sudah diberi tahu oleh dokternya waktu itu…”
[2] ARV = anti-retroviral; obat yang dikonsumsi ODHA, gunanya untuk menekan laju aktivitas virus yang menggandakan diri di dalam tubuh.
[3] CD4 = angka sel – T yang menunjukkan besaran system kekebalan tubuh manusia.
[4] “Bagaimana, bang…?”
[5] “Iiih… ya bagaimana lagi? Harus laaah…”
[6] “Biayanya bagaimana…?”
[7] “Naaah… cepat, bang! Sekalian tolong bawakan baju Eni ya? Abang baik, deh…”
[8] “Huh… kamu ini kalau ada maunya baru berbaik-baik…”
[9] “Iiih… biar dong, bang… kan abang ganteng… ya?”
[10] B20 = kode pasien dengan HIV/AIDS di rumah sakit
[11] baik
[12] “Laaah… nggak usah terlalu dipikirkan”
[13] “Kakak, terima kasih ya… maaf kami berdua sudah merepotkan…”

No comments:

Post a Comment