[Bukan fiksi - cerita ini adalah sebuah episode dalam kehidupan yang aku alami tahun 2007. Nama karakter & klinik sengaja diubah]
Pagi
itu aku tiba di klinik Magnolia agak cepat. Belum lagi pukul 9, tapi pasien
sudah berderet. Beberapa wajah yang akrab denganku tersenyum menyapaku.
“Selamat pagi….!” Aku menyapa mereka sebelum masuk ke ruang administrasi
klinik. “Selamat pagi neng Ratri…”
sapa pak Toto, petugas administrasi klinik, dengan ramah. “Pagi, Pak… Udah rame aja ya pak…
Baru jam segini...” Ujarku sambil meletakkan tasku dan mengalungkan kartu
identitas pendampingku. “Iya nih… Oya, ada ibu hamil yang positif tuh. Datang
bareng suaminya. Perlu ngobrol soal proses kelahiran. Nanti tolong di handle ya?” imbuh pak Toto sambil
menyodorkan berkas rekam medis kepadaku dan mengarahkan pandangan matanya ke sudut teras klinik. Aku mengikuti pandangan matanya.
Di sudut teras ada pasangan muda yang sedang mengobrol. Si perempuan berwajah
manis layaknya kembang desa. Si suami berwajah agak tengil. Aku melihat si
suami sesekali menggoda istrinya dan si perempuan akan memukul mesra lengan
suaminya, “Atuh aaah… Aa mah….” Lalu
mereka tertawa terkikik-kikik berdua. “Hmmm…. Manis sekali mereka berdua. Siapa
ya mereka?” Begitu pikirku. “Istrinya namanya Eni. Suaminya Amin, ya neng…” pak Toto seolah bisa membaca
pikiranku. “Oke pak….” Aku beranjak memanggil mereka untuk masuk ke ruang
konsultasi.
“Eni
sama Amin yaaa…?” sapaku. Mereka mengangguk. Aku membaca rekam medis mereka,
dan bisa merasakan mereka mengawasiku. “Udah masuk bulan ke delapan ya, Ni?”
tanyaku lagi. “Iya, Teh… Kebobolan. Da si Aa-na bandel, ngga mau pake kondom siiih…” ujar Eni dengan nada manja
sambil mendorong bahu suaminya. Si suami hanya nyengir kuda, “Da kirain teh kalo udah sama-sama positif mah nggak usah pake kondom lagi
gitu, Teh….” Jawabnya membela diri. “Iiiih… si Aa mah sok baong ari dibejaan
teeeh. Apan tos diwartosan ku dokterna basa eta…”[1]
Eni berkata sambil mencubit lengan suaminya. “Aduuuh!!!” Amin menjerit kecil.
Aku ikut tertawa. “Ya udah. Udah telanjur kan? Tapi Eni udah ARV[2]
‘kan?” tanyaku. “Udah Teteh… Kan
waktu kemaren CD4[3]
Eni teh sempet ngedrop teaaa. Jadi sama dokter langsung harus
ARV.” Jawabnya. Aku mengangguk tanda mengerti. “Sesuai prosedur untuk ibu hamil
yang positif sekarang, Eni harus operasi cesar
ya? Nggak bisa melahirkan normal, biar mengurangi resiko penularan ke bayinya.
Tapi harus segera nih… Gimana?” Keduanya saling berpandangan… "Kumaha Aa…?”[4]
tanya Eni kepada Amin. “Iiih… nya kumaha
deui? Kudu atuh eta mah…”[5]
jawab si suami sambil tertawa-tawa menggoda. Namun kali ini Eni terlihat
serius, sehingga Amin pun serta merta menghentikan guyonannya. “Biayana kumaha….”[6]
Aku mendengar Eni berkata lirih kepada Amin. Seketika itu juga kebingungan
membayang di wajah Amin. Dia berpaling kepadaku, “Kalo soal biaya… kira-kira
berapa ya, Teh…?” tanyanya sambil
menggenggam erat tangan istrinya. Cemas menanti jawaban yang keluar dari
mulutku.
Biaya.
Selalu itu yang menjadi pertanyaan besar dan menakutkan bagi klien-klienku yang
kebanyakan berasal dari golongan menengah ke bawah. Betapa mahalnya harga
‘kesehatan’ dan ‘keselamatan’ yang harus mereka bayar. Belum lagi perlakuan
tidak adil yang sering mereka terima dari petugas layanan kesehatan.
Seolah-olah menegaskan fakta bahwa ‘orang miskin dilarang sakit’. “Saya belum
tahu biayanya berapa… tapi kalian kan bisa pakai ASKESKIN. Minta surat
keterangan tidak mampu dari RT, RW, Kelurahan dan Kecamatan nanti perawatannya
Eni ditanggung negara jadinya.” Paparku. Amin dan Eni mengangguk-angguk. “Itu
ngurusnya lama nggak, Teh?” Tanya
Amin lagi sambil memandang perut Eni yang membuncit. Aku berpikir sejenak, “Eni sih harus masuk
hari ini juga karena udah hamil tua. Gini aja deh, nanti saya minta tolong
dokter dan bagian administrasi di sini supaya Eni bisa masuk ruangan dulu. Tapi
kamu, Min, langsung pulang dan langsung urus surat keterangannya hari ini ya?
Bisa kan?” aku mengajukan sebuah solusi untuk mereka. “Oooh bisa, Teh… bisa!” jawabnya dengan penuh
semangat. “Taah… burukeun Aa… sakalian
pang mawakeun baju Eni nya? Da bageur….”[7]
Sambar Eni kepada suaminya. “Euh… ieu mah
mun aya kahayangna we, karek ngabageuran!”[8]
ujar Amin pura-pura ngambek. “Iiih… bae
atuh Aa… da kasep nya..?”[9]
Eni tetap merayu Amin. Mereka lalu tertawa-tawa. Lepas. Tanpa beban, seolah HIV
hanya sekedar sakit flu biasa.
Dua
hari kemudian ketika aku datang menengok Eni di rumah sakit, ia sudah
menggendong bayi laki-laki yang sehat bernama Rahmat. “Teteh… sini, liat dulu atuuuh! Laki-laki, Teh. Namanya Rahmat. Mudah-mudahan jadi Rahmat buat keluarga Eni
ya, Teh…” serunya kepadaku.
“Amiiiiin!” jawabku. “Mana si Aa, Ni?” tanyaku ketika tidak mendapati Amin di
kamar. “Lagi keluar dulu, Teh. Beli
sarapan. Kasian si Aa, nggak tidur semalaman jagain Eni.” Ujarnya padaku. “Lho?
Memangnya Eni kenapa?” tanyaku waswas. “Ah, nggak apa-apa Eni-nya mah Teteh. Cuma si Aa-nya aja yang takut.
Takut Eni tiba-tiba meninggal, cenah.
Soalnya yang ranjang sebelah ini kan kemarin habis melahirkan sehari terus
tiba-tiba meninggal, Teh… Jadi si Aa
ketakutan…” jelas Eni kepadaku. “Teteh…
ruangan ini khusus untuk pasien B20[10]
aja ya? B20 teh apa sih?” tiba-tiba
Eni bertanya padaku. Aku tercekat. “Siapa yang kasih tau, Eni?” tanyaku
padanya. “Nggak ada yang kasih tau sih, cuma Eni denger aja suster-susternya
pada bilang ‘B20’ gitu terus nunjuk ke ruangan sini. Terus, di papan yang di
tempat tidur itu juga ada tulisannya ‘Ny. Eni B20’. Gitu Teteh…” Eni menjelaskan padaku. Aku tahu, memang Ruang 13 adalah
bangsal bersalin khusus untuk ODHA. Aku tersenyum, “B20 itu emang kode untuk
pasien yang positif, Ni. Kayak kita-kita ini. Sengaja ditulis B20 biar nggak
banyak orang yang ngerti. Kalo ditulis ‘Ny. Eni HIV positif’ gimana, coba? Kan
nggak enak ya?” jelasku kepada Eni. “Emangnya kenapa kalo ditulis ‘HIV’ gitu, Teh? Kan emang Eni HIV? Ya nggak apa-apa
atuh… Biar dokternya sama susternya
juga langsung tau.” Tukasnya polos. Aku tersenyum mendengar kepolosannya. “Tapi
banyak yang nggak mau ketahuan, Ni.” Jawabku lagi. “Iiih… kenapa sih? Ya itu
kan udah keadaan kita ya, Teh… harus
terima dong. Kenapa harus ditutupin? Eni mah nggak malu, tapi nggak ngerti aja
kenapa ruangannya harus dipisah gini…” ujarnya lagi. Aku bergeser mendekati
Eni, “Jadi gini, Ni… Karena badan kita kan nggak kayak badan orang lain.
Istilahnya mah, pagernya kita nggak sekuat pager orang lain, jadi dipisah
ruangannya. Biar nggak gampang ketularan penyakit lain. Namanya juga Rumah
Sakit, pasti banyak penyakitnya kan?” aku mencoba menjelaskan dengan sesederhana
mungkin kepada Eni. Perempuan itu mengangguk-angguk. “Eni mah yang penting si
Aa bageur[11],
terus Rahmat nanti sehat lah… Biarin aja orang mau ngomong apa juga. Namanya
umur mah di tangan Tuhan ya, Teh? Kan
penyakit juga banyak, nggak cuma HIV aja. Kalo Eni nggak kena HIV, mungkin aja
kena penyakit lain. Lah… mikiran teuing[12].
Eni mah pengen punya keluarga sakinah aja, Teh.
Justru ada bagusnya loh, Teh, si Aa
positif teh… Biar dia nggak bandel ke
perempuan lagi. Hahaha…” Eni mencerocos dengan kepolosan yang belum pernah aku
lihat sebelumnya. Aku hanya tersenyum mendengarkan celotehannya. Kepolosan itu…
apakah karena ia bisa menerima keadaannya… karena sudah mengerti benar… ataukah
justru karena ia tidak paham apa yang sedang berlangsung dalam hidupnya? Aku
tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah Eni melihat semuanya dari sisi lain yang
mungkin tak pernah terpikirkan oleh perempuan pengidap HIV mana pun! Aku kagum
dan terharu. Tak sedikit pun tebersit rasa takut dan cemas dalam nada
bicaranya. Ada kepasrahan tingkat tinggi dan penerimaan diri yang luar biasa
yang bisa aku lihat dalam dirinya. Seorang perempuan dari sebuah desa di utara
Bandung bisa menunjukkan kekuatan yang sangat besar lewat cara yang sederhana.
Aku
pamit ketika Amin kembali ke ruangan. “Teteh….
Hatur nuhun nyaaa… Meni tos ngarepotkeun ieu duaan teh…”[13]
Kata Amin dan Eni sambil menyambut jabat tanganku. “Aaah, nggak ngerepotin kok!
Udah kewajiban saya kan? Jangan lupa rajin kontrol ke dokter. ARV-nya jangan
pada telat minum ya? Kalo ada apa-apa, telpon saya aja.” jawabku sebelum
meninggalkan ruangan. “Iya Teteh…”
sahut mereka berdua.
Ketika
berlalu dari Ruang 13, aku melihat dari ambang jendela… Eni dan Amin sedang
mencandai Rahmat. Keduanya tampak sangat bahagia. Amin mengecup kening Eni dengan
penuh cinta, lalu mengecup Rahmat yang masih tidur. Aku berlalu sambil menahan
air mata haru… Aku belajar banyak dari mereka berdua. Tentang ketulusan,
kesederhanaan, penerimaan diri, pemaafan dan memandang hidup dari sisi yang
positif.
Cinta itu sederhana, hanya butuh saling dukung dan saling menerima
dengan lapang dada apa yang sudah menjadi kenyataan di depan mata…
[1] Bahasa
Sunda: “Iiih… abang suka bandel kalau diberi tahu ya? Kan sudah diberi tahu
oleh dokternya waktu itu…”
[2] ARV =
anti-retroviral; obat yang dikonsumsi ODHA, gunanya untuk menekan laju
aktivitas virus yang menggandakan diri di dalam tubuh.
[3] CD4 =
angka sel – T yang menunjukkan besaran system kekebalan tubuh manusia.
[4]
“Bagaimana, bang…?”
[5] “Iiih…
ya bagaimana lagi? Harus laaah…”
[6] “Biayanya
bagaimana…?”
[7]
“Naaah… cepat, bang! Sekalian tolong bawakan baju Eni ya? Abang baik, deh…”
[8]
“Huh… kamu ini kalau ada maunya baru berbaik-baik…”
[9]
“Iiih… biar dong, bang… kan abang ganteng… ya?”
[10]
B20 = kode pasien dengan HIV/AIDS di rumah sakit
[11]
baik
[12]
“Laaah… nggak usah terlalu dipikirkan”
[13]
“Kakak, terima kasih ya… maaf kami berdua sudah merepotkan…”
No comments:
Post a Comment