Tuesday 17 September 2013

[dulu, kemarin atau barusan] Tidak Ada Bedanya....



Aku duduk di sisi ranjang yang dibalut sprei kusam. Seorang lelaki tergolek lemah, hampir tak sadarkan diri. Di sebelahku, istrinya yang masih muda – awal duapuluhan, duduk tertunduk sambil menangis lirih. Meskipun hal-hal seperti ini telah menjadi rutinitasku, namun setiap orang memiliki kisah yang berbeda. Dan setiap kali pula aku merasa jengah. Kadang aku pun tak tahu harus mulai dari mana. Kadang sulit untuk membuka pembicaraan untuk topik yang sulit ini…

“Saya nggak ngerti mbak… kok dia bisa sakit sampai seperti ini…. Dari mana semuanya ini?” perempuan itu memecah kebisuan dengan kata-katanya. Aku mengelus bahunya, “Kemarin sudah dijelaskan sama konselornya ‘kan? Suami Nani dulunya pernah nyuntik putaw, terus… jarumnya sering gantian sama teman-temannya. Nah… kalau pakai jarum suntik bareng-bareng seperti itu memang ada resiko tertular. Kita ‘kan nggak tahu, temannya yang mana yang sudah positif…” kataku memberi penjelasan ulang pada Nani. Perempuan itu sesenggukan. Aku mengusap punggungnya sekedar mencoba menenangkannya. “Saya tahu mbak…. Dulunya si akang ini nakal. Suka pakai narkoba, suka main perempuan. Tapi dia udah berhenti pakai sejak 5 tahun yang lalu! Sejak pacaran sama saya, dia juga udah nggak pernah main perempuan lagi…. Dia udah baik mbak… nggak seperti dulu lagi….” Nani memberikan pembelaan atas masa lalu suami yang dicintainya. Nada putus asa dan tak percaya menyelimuti suaranya yang lirih, ada sedikit penyangkalan yang terasa olehku. Pastinya! Semua orang pasti akan menyangkal dan mencari pembelaan terbaik, hanya untuk sekedar menenangkan hatinya sendiri. Namun itu semua tak akan mengubah kenyataan yang sudah terbuka di depan mata. Betapa sulitnya menerima kenyataan pahit apalagi jika kita tahu sudah ada perubahan besar ke arah kebaikan yang dilakukan. Lalu untuk apa semua usaha untuk menjalani hidup dengan baik-baik, membina keluarga dan menjauh dari jerat napza yang telah dilakukan…. ? Pikiran-pikiran seperti itu pasti menghantui otak mereka.
“Nani… resiko tertular atau terinfeksi HIV dan hepatitis C itu sudah ada sejak pertama kali si akang mulai pakai jarum suntik bareng teman-temannya. Dan itu kita nggak tahu pasti sejak kapan ‘kan?” ujarku mencoba memasukkan sedikit pemahaman tentang penularan HIV dan hepatitis C kepada Nani. “Tapi mbak… si akang itu nyuntiknya juga nggak sering-sering amat kok….” Tegas Nani masih memberikan pembelaan untuk masa lalu suaminya. Betapa manisnya… begitu kuat rasa cintanya kepada sang suami sehingga ia terus mengusahakan pembelaan meskipun aku yakin, dalam hatinya Nani pun tahu bahwa semua usahanya tidak akan membuahkan hasil yang sesuai dengan harapannya. “Iya Ni… tapi yang kita harus tahu, penularan ini nggak tergantung sama seberapa sering atau seberapa jarang orang nyuntik bareng. Biarpun si akang cuma satu kali pake jarum suntik bareng teman-temannya, dia tetap punya resiko tertular. Almarhum mantan suami saya juga gitu kok…” akhirnya aku mengeluarkan senjata pamungkasku. Kemiripan situasi kami. Kadang ikatan sisterhood yang terbentuk akan memudahkan aku untuk membangkitkan semangat perempuan pasangan pecandu. Dan benar saja, Nani serta merta mengangkat wajahnya dan memandangku dengan terbelalak, “Betul mbak??” tanyanya. Aku mengangguk. “Nani… kapanpun seseorang berhenti nyuntik… dulu, 10 tahun yang lalu, kemarin atau barusan… resikonya tetap sama…” jelasku padanya. “Memang berat yaa… saya ngerti banget. Si akang udah berhenti dan menikah baik-baik sama Nani, pasti berat untuk nerima semua ini. Tapi kita nggak boleh patah semangat, Ni! Si akang sekarang lagi butuh dukungan Nani… ini saatnya kamu menumpahkan rasa cinta sama si akang… Coba bayangin kalau si akang nggak punya Nani…” aku sengaja menggantung kalimatku. Membiarkannya menyimpulkan sendiri akhir dari kalimat itu. “Kira-kira si akang ini mulai ketularannya kapan ya Mbak…?” tanya Nani. “Terus terang saya nggak tahu, Ni… nggak ada yang bisa mastiin juga. Tapi itu nggak penting lah… yang terpenting sekarang ‘kan gimana kita bisa mengusahakan supaya si akang sembuh ya?” saranku kepadanya. Nani tercenung. “Bukan apa-apa Mbak… saya ‘kan juga positif tertular si akang. Kalau saya nanti sakit jadi kayak si akang gini juga gimana? Siapa yang ngerawat kami? Kami nggak punya siapa-siapa lagi soalnya.” Ujarnya dengan suara bergetar karena emosi. “Nani ‘kan masih sehat banget nih…. Kalau Nani bisa jaga kesehatan, Nani nggak akan sakit seperti si akang kok. Asal Nani pola hidupnya sehat aja. Cukup istirahat, makan yang gizinya cukup dan tenangkan pikiran sebisa mungkin…” jawabku. “Gitu ya Mbak…?” balasnya masih dengan nada yang kurang yakin. Aku tersenyum. Kekhawatiran itu pasti ada. Wajar dan manusiawi, apalagi jika mereka memang tidak punya siapa-siapa lagi. “CD4 Nani pasti masih bagus ‘kan?” tanyaku berspekulasi. “700 Mbak…” jawabnya. “Nah…!! Masih bagus itu, Ni… dijaga supaya nggak turun terlalu banyak ya? Biar Nani tetap sehat dan bisa merawat si akang dan bisa menyemangati dia juga.” Ujarku mencoba untuk membangkitkan semangatnya. “Tapi Mbak… nanti kalau Nani sering hubungi Mbak Ratri, nggak apa-apa ya?” tanyanya. “Ya jelas nggak apa-apa dong, Ni… kapan aja Nani perlu ngobrol atau tanya-tanya, kabari saya aja. Nanti saya juga nengok kesini lagi kok…”  jawabku. Kelegaan tampak membayang di wajahnya. Setidaknya untuk saat ini aku bisa mengurangi beban pikirannya sedikit saja.

Tak ada balasan yang lebih berharga bagiku selain melihat klienku kembali sehat. Dan ini aku dapatkan dari suami Nani setelah beberapa bulan berselang. Betapa haru rasanya melihat si akang bisa berjalan lagi dan berangsur membaik. Aku tahu, Nani memegang peranan besar dalam kesembuhan suaminya. Ia dengan telaten merawat suaminya dan membangkitkan semangat hidupnya. “Udah sama-sama positif, kita saling dukung aja ya Mbak….” Begitu katanya kepadaku terakhir kali aku datang menengok ke rumahnya. Sang suami menggenggam erat tangan istrinya dengan penuh cinta dan rasa terima kasih. Sungguh sebuah kebersamaan yang indah. 

Memang benar…. Tidak peduli kapan seseorang berhenti menggunakan napza suntik dengan kebiasaan memakai jarum bersama-sama… tidak peduli itu dulu, 10 tahun yang lalu, setahun yang lalu, kemarin atau baru saja, resiko tertular itu tetap membayangi. Namun jika mereka memiliki pasangan yang selalu tegar dan memberikan dukungan, maka badai akan bisa terlewati dengan kebersamaan….


[nama karakter sudah diubah]

1 comment:

  1. "Namun jika mereka memiliki pasangan yang selalu tegar dan memberikan dukungan, maka badai akan bisa terlewati dengan kebersamaan…."

    Suka bagian ini....

    ReplyDelete