Aku
duduk di sisi ranjang yang dibalut sprei kusam. Seorang lelaki tergolek lemah,
hampir tak sadarkan diri. Di sebelahku, istrinya yang masih muda – awal
duapuluhan, duduk tertunduk sambil menangis lirih. Meskipun hal-hal seperti ini
telah menjadi rutinitasku, namun setiap orang memiliki kisah yang berbeda. Dan
setiap kali pula aku merasa jengah. Kadang aku pun tak tahu harus mulai dari
mana. Kadang sulit untuk membuka pembicaraan untuk topik yang sulit ini…
“Saya
nggak ngerti mbak… kok dia bisa sakit sampai seperti ini…. Dari mana semuanya
ini?” perempuan itu memecah kebisuan dengan kata-katanya. Aku mengelus bahunya,
“Kemarin sudah dijelaskan sama konselornya ‘kan? Suami Nani dulunya pernah
nyuntik putaw, terus… jarumnya sering gantian sama teman-temannya. Nah… kalau
pakai jarum suntik bareng-bareng seperti itu memang ada resiko tertular. Kita
‘kan nggak tahu, temannya yang mana yang sudah positif…” kataku memberi
penjelasan ulang pada Nani. Perempuan itu sesenggukan. Aku mengusap punggungnya
sekedar mencoba menenangkannya. “Saya tahu mbak…. Dulunya si akang ini nakal.
Suka pakai narkoba, suka main perempuan. Tapi dia udah berhenti pakai sejak 5
tahun yang lalu! Sejak pacaran sama saya, dia juga udah nggak pernah main
perempuan lagi…. Dia udah baik mbak… nggak seperti dulu lagi….” Nani memberikan
pembelaan atas masa lalu suami yang dicintainya. Nada putus asa dan tak percaya
menyelimuti suaranya yang lirih, ada sedikit penyangkalan yang terasa olehku.
Pastinya! Semua orang pasti akan menyangkal dan mencari pembelaan terbaik,
hanya untuk sekedar menenangkan hatinya sendiri. Namun itu semua tak akan
mengubah kenyataan yang sudah terbuka di depan mata. Betapa sulitnya menerima
kenyataan pahit apalagi jika kita tahu sudah ada perubahan besar ke arah
kebaikan yang dilakukan. Lalu untuk apa semua usaha untuk menjalani hidup dengan
baik-baik, membina keluarga dan menjauh dari jerat napza yang telah dilakukan….
? Pikiran-pikiran seperti itu pasti menghantui otak mereka.
“Nani…
resiko tertular atau terinfeksi HIV dan hepatitis C itu sudah ada sejak pertama
kali si akang mulai pakai jarum suntik bareng teman-temannya. Dan itu kita
nggak tahu pasti sejak kapan ‘kan?” ujarku mencoba memasukkan sedikit pemahaman
tentang penularan HIV dan hepatitis C kepada Nani. “Tapi mbak… si akang itu
nyuntiknya juga nggak sering-sering amat kok….” Tegas Nani masih memberikan
pembelaan untuk masa lalu suaminya. Betapa manisnya… begitu kuat rasa cintanya
kepada sang suami sehingga ia terus mengusahakan pembelaan meskipun aku yakin,
dalam hatinya Nani pun tahu bahwa semua usahanya tidak akan membuahkan hasil
yang sesuai dengan harapannya. “Iya Ni… tapi yang kita harus tahu, penularan
ini nggak tergantung sama seberapa sering atau seberapa jarang orang nyuntik
bareng. Biarpun si akang cuma satu kali pake jarum suntik bareng
teman-temannya, dia tetap punya resiko tertular. Almarhum mantan suami saya
juga gitu kok…” akhirnya aku mengeluarkan senjata pamungkasku. Kemiripan
situasi kami. Kadang ikatan sisterhood yang terbentuk akan memudahkan aku untuk
membangkitkan semangat perempuan pasangan pecandu. Dan benar saja, Nani serta
merta mengangkat wajahnya dan memandangku dengan terbelalak, “Betul mbak??”
tanyanya. Aku mengangguk. “Nani… kapanpun seseorang berhenti nyuntik… dulu, 10
tahun yang lalu, kemarin atau barusan… resikonya tetap sama…” jelasku padanya.
“Memang berat yaa… saya ngerti banget. Si akang udah berhenti dan menikah
baik-baik sama Nani, pasti berat untuk nerima semua ini. Tapi kita nggak boleh
patah semangat, Ni! Si akang sekarang lagi butuh dukungan Nani… ini saatnya
kamu menumpahkan rasa cinta sama si akang… Coba bayangin kalau si akang nggak
punya Nani…” aku sengaja menggantung kalimatku. Membiarkannya menyimpulkan
sendiri akhir dari kalimat itu. “Kira-kira si akang ini mulai ketularannya
kapan ya Mbak…?” tanya Nani. “Terus terang saya nggak tahu, Ni… nggak ada yang
bisa mastiin juga. Tapi itu nggak penting lah… yang terpenting sekarang ‘kan
gimana kita bisa mengusahakan supaya si akang sembuh ya?” saranku kepadanya.
Nani tercenung. “Bukan apa-apa Mbak… saya ‘kan juga positif tertular si akang.
Kalau saya nanti sakit jadi kayak si akang gini juga gimana? Siapa yang
ngerawat kami? Kami nggak punya siapa-siapa lagi soalnya.” Ujarnya dengan suara
bergetar karena emosi. “Nani ‘kan masih sehat banget nih…. Kalau Nani bisa jaga
kesehatan, Nani nggak akan sakit seperti si akang kok. Asal Nani pola hidupnya
sehat aja. Cukup istirahat, makan yang gizinya cukup dan tenangkan pikiran
sebisa mungkin…” jawabku. “Gitu ya Mbak…?” balasnya masih dengan nada yang
kurang yakin. Aku tersenyum. Kekhawatiran itu pasti ada. Wajar dan manusiawi,
apalagi jika mereka memang tidak punya siapa-siapa lagi. “CD4 Nani pasti masih
bagus ‘kan?” tanyaku berspekulasi. “700 Mbak…” jawabnya. “Nah…!! Masih bagus
itu, Ni… dijaga supaya nggak turun terlalu banyak ya? Biar Nani tetap sehat dan
bisa merawat si akang dan bisa menyemangati dia juga.” Ujarku mencoba untuk
membangkitkan semangatnya. “Tapi Mbak… nanti kalau Nani sering hubungi Mbak
Ratri, nggak apa-apa ya?” tanyanya. “Ya jelas nggak apa-apa dong, Ni… kapan aja
Nani perlu ngobrol atau tanya-tanya, kabari saya aja. Nanti saya juga nengok
kesini lagi kok…” jawabku. Kelegaan
tampak membayang di wajahnya. Setidaknya untuk saat ini aku bisa mengurangi
beban pikirannya sedikit saja.
Tak
ada balasan yang lebih berharga bagiku selain melihat klienku kembali sehat.
Dan ini aku dapatkan dari suami Nani setelah beberapa bulan berselang. Betapa
haru rasanya melihat si akang bisa berjalan lagi dan berangsur membaik. Aku
tahu, Nani memegang peranan besar dalam kesembuhan suaminya. Ia dengan telaten
merawat suaminya dan membangkitkan semangat hidupnya. “Udah sama-sama positif,
kita saling dukung aja ya Mbak….” Begitu katanya kepadaku terakhir kali aku
datang menengok ke rumahnya. Sang suami menggenggam erat tangan istrinya dengan
penuh cinta dan rasa terima kasih. Sungguh sebuah kebersamaan yang indah.
Memang benar…. Tidak peduli kapan seseorang berhenti menggunakan napza suntik
dengan kebiasaan memakai jarum bersama-sama… tidak peduli itu dulu, 10 tahun
yang lalu, setahun yang lalu, kemarin atau baru saja, resiko tertular itu tetap
membayangi. Namun jika mereka memiliki pasangan yang selalu tegar dan
memberikan dukungan, maka badai akan bisa terlewati dengan kebersamaan….
[nama karakter sudah diubah]
"Namun jika mereka memiliki pasangan yang selalu tegar dan memberikan dukungan, maka badai akan bisa terlewati dengan kebersamaan…."
ReplyDeleteSuka bagian ini....