Thursday 1 June 2017

Hate The Country, Love The Nation

Mengamati hingar bingar nasionalisme di hari lahir Pancasila kemarin, saya jadi berpikir sendiri... Saya ini [sudah] tidak nasionalis [lagi]. Nasionalisme saya sudah mati beberapa tahun yang lalu. Saya merasa seperti dijodohkan sejak lahir dengan pasangan yang merupakan pelaku kekerasan. Sudah lama saya merasa diperkosa secara politis dan kemudian patah hati pada negara ini.

Kenapa saya bilang bahwa saya dan Indonesia serasa berpasangan dengan pelaku kekerasan? Karena saya harus bergantung kepadanya dalam banyak hal, diberi banyak aturan dan batasan yang harus dituruti. Seperti kata salah satu "anak" saya, bersatu digebuki, bercerai ditembaki sampai mati. Saya diharuskan memuja pasangan saya, jika saya menjelek-jelekkannya akan berbuah pada pemidanaan. Tidak cuma pasangan saya yang tidak boleh dijelek-jelekkan, tapi juga "keluarganya". Jika saya menghina, mengkritisi, menjelekkan anggota keluargnya, saya akan dikenai pasal subversif! Saya juga dininabobokan dengan berbagai cerita heroik yang ternyata penuh kebohongan dan propaganda saja. Semuanya dibuat untuk menutupi kebenaran dan kebusukan yang sesungguhnya. Dan ketika saya mempertanyakan dan ingin mengklarifikasi cerita-cerita itu, saya justru ditampar dan dituduh pro-komunis. 

Saya juga tidak dinafkahi. Saya harus mengurus sendiri semua kebutuhan sehari-hari saya dari mulai belanja hingga kesehatan dan sekolah. Baru-baru saja sekolah anak saya digratiskan. Sebelumnya? Boro-boro. Alih-alih dinafkahi, saya justru diporoti habis-habisan. Saya harus menyetorkan sebagian dari gaji saya, membayar asuransi kesehatan, memberikan bagian untuk properti yang saya miliki baik itu rumah, apartemen ataupun kendaraan. Dia? Hanya ongkang-ongkang kaki, main gitar sambil mengumbar janji bahwa saya akan diberi fasilitas yang memadai karena sudah berkontribusi di dalam "rumah tangga" kami. Bahkan untuk urusan kesehatan pun saya harus membayar sendiri.

Saya diberikan rasa aman dan kebebasan semu. Pasangan saya punya banyak body guard yang siap membelanya mati-matian dan membabi buta. Katanya, saya juga akan diproteksi oleh body guard-nya ini, tapi faktanya saya justru lebih sering merasa terintimidasi dengan keberadaan mereka. Begitu pun tentang kebebasan. Saya selalu diberi tahu bahwa saya punya kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaan apapun yang saya yakini. Katanya, saya juga punya kebebasan berpendapat dan bersuara. Lalu, saya juga disebutkan punya kebebasan untuk memilih kelompok yang ingin saya jadikan teman. Tapi nyatanya, semua itu semu saja. Ketika saya memilih keyakinan saya sendiri, saya disalahkan. Dicaci, dianggap tidak sejalan dengan pasangan saya. Ketika saya menyuarakan pendapat saya yang berbeda karena saya menginginkan kesetaraan dan keadilan, saya dianggap membangkang dan patut diberangus. Lalu, soal kelompok pertemanan, saya boleh-boleh saja berteman dengan banyak orang, asalkan yang satu visi dengan pasangan saya. Begitu saya memilih kelompok teman yang berbeda, saya lagi-lagi dicap pembangkang dan dianggap ingin mengangkangi pasangan saya. Jadi definisi "diberi rasa aman" adalah dengan menuruti apa kata pasangan saya. Jika saya menurut, maka hidup saya akan aman. Definisi "kebebasan berpendapat dan bersuara" menurutnya adalah dengan membicarakan apa yang ingin dia dengar saja. Saya bebas menyuarakan hal yang sama dan hal-hal yang ingin dia dengar. Soal teman pun begitu, saya bebas berteman dengan orang-orang dan kelompok yang dipilihkan untuk saya. Dafuq, man?

Saya akhirnya patah hati pada negara ini. Saya tidak percaya lagi padanya. Tidak percaya pada sistem yang dulu dia kenalkan kepada saya dan disebutkan akan melindungi saya serta mensejahterakan saya. Mana buktinya? Kalau saya sekarang sejahtera, that is because I work my freakin' ass off! Bukan karena pasangan saya yang mensejahterakan saya. Sama sekali tidak! Saya tidak pernah merasa menerima fasilitas apapun dari pasangan saya kecuali status kebersamaan kami yang dibuktikan dengan diberikannya KTP dan Paspor untuk saya. Itu saja! 

Di sekretariat kolektif tempat saya bermain dan berdiskusi, dulu sering ada seorang laki-laki yang dianggap kurang waras. Dia sering meracau, bicara tentang negara dan nasionalisme. Bicaranya melompat-lompat tak karuan tapi selalu berapi-api untuk berdiskusi dengan kawan-kawan di sana. "Dia itu kenapa sebenarnya?" tanya saya suatu hari kepada salah satu kawan, "Patah hati dengan negara ini..." jawab kawan saya dengan nada prihatin. Astaga! Saya tidak mau seperti dia yang telah meletakkan semua rasa cinta dan kepercayaannya di tangan negara lalu kemudian dikhianati habis-habisan hingga hampir gila!

Maka jika sekarang saya tidak lagi punya rasa untuk pasangan saya, itu bukanlah tanpa sebab. Setelah bertahun-tahun mengalami kekerasan dan perkosaan, saya pun akhirnya muak. Saya cinta bangsa dan negeri ini, tapi saya muak dengan sistemnya. Hate the country, love the nation. Apakah saya salah?








No comments:

Post a Comment