Saturday 12 January 2013

Selinting



Kirana memperhatikan jemari trampil Elang yang bermain dengan lincah. Dia selalu kagum melihat betapa cepat kerja jemari tersebut dan hasilnya begitu rapi.  Sejurus kemudian selinting ganja telah siap untuk dihisap.

“Nih…” Elang menyodorkan lintingan itu kepada Kirana.
“Kamu dong yang bakar…” ujar Kirana. Elang menarik kembali tangannya, membakar lintingan itu, mengisapnya dua kali, baru kemudian menyodorkannya kembali kepada Kirana.  Perempuan itu menyambut, mengisapnya dalam-dalam sebelum mengembalikan lintingan itu kepada Elang. Keduanya duduk bersandar pada dinding di atap gedung tinggi sambil memandangi senja yang turun sambil berbagi hisapan.

“Kenapa ganja dilarang ya?” Kirana memecah kesunyian.
“Karena pemerintah terlalu paranoid…” sahut Elang dengan mata terpejam.
“Padahal kita tahu, di Aceh tanaman ini dipakai jadi bumbu masak. Sudah berpuluh tahun pula…” ujar Kirana lagi.
“Yaaa…. Pemerintah terlalu paranoid…. Dan bodoh. Itu saja.” Jawab Elang lagi.
“Kamu pernah merasa kecanduan ganja nggak sih?” tanya Kirana tiba-tiba.
Elang membuka matanya dan menoleh, “Nggak pernah… Aku rasa yang ngaku-ngaku kecanduan ganja itu mengada-ada sih…” jawabnya. “Kamu sendiri, kenapa suka?” tanya Elang.
“Ah, sesekali aja kok. Kalau lagi kepengen…” Kirana berkilah. “Yeah well… sama aja ‘kan? Artinya kamu suka, meskipun nggak doyan… Hehehe…” goda Elang sambil meninju bahu Kirana.
“Panjang ceritanya….” Ujar Kirana sambil menyalakan rokoknya.
“Kamu nggak pernah cerita sama aku lho… soal yang satu ini.” Elang mencoba mengorek. Kirana menoleh kepada Elang. Bibirnya sedikit terbuka seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi ragu… lalu perempuan itu mengalihkan pandangannya ke langit…

“Aku dulu pernah insomnia berat karena post traumatic stress disorder. Nggak bisa tidur, nggak mau makan. Dokter kasih aku valium, tapi malah aku tenggak sekaligus sampai nyaris mati…” Kirana bercerita dengan pandangan menerawang ke langit senja yang mulai bersemu jingga keunguan. Elang tertegun.

Tiga tahun mereka berteman baik. Elang selalu merasa dia tahu banyak tentang Kirana, tapi senja itu dia baru sadar… ternyata banyak yang tak diketahuinya tentang perempuan itu. Masa lalunya. Pengalaman pahitnya. Perjuangannya. Banyak hal tentangnya…

“Aku punya masalah dengan suicide tendency dan self-harming tendency, El…” kata-kata Kirana tiba-tiba mengembalikan Elang ke realita. Ke atap gedung di mana mereka sedang duduk bersama.
“Kamu kok nggak pernah cerita sama aku soal itu, Ra?” Elang bertanya, “Apa aku nggak bisa dipercaya? Atau kamu memang belum mau cerita?” lanjutnya.
Kirana menghela nafas, “Bukan gitu, El… Aku orangnya nggak gampang curhat. Dan nggak semua orang suka dijadikan tempat curhat…” jelasnya, “Kamu… sibuk dengan duniamu sendiri. Kamu punya masalah sendiri dan kamu sepertinya sudah kebanyakan perkara yang ganggu pikiranmu. Aku nggak enak aja kalau mau curhat.” Elang tertegun.
“Kok gitu sih? Padahal aku banyak cerita sama kamu, Ra. Seharusnya ‘kan kamu nggak usah disuruh juga cerita aja sama aku dong!” Elang menukas dengan nada suara tidak rela.
“Iya, tapi aku selalu tanya sama kamu…. Setiap kali aku lihat mukamu kusut, aku pasti tanya - ada apa – atau – kamu kenapa – Kamu nggak pernah tanya aku, El…” Jawaban Kirana sungguh di luar dugaan. Elang terdiam. Mencoba mengingat-ingat. Berpikir keras mencoba mengingat semuanya.
“Tiga tahun, El… nggak sekali pun kamu pernah bertanya serius – ada apa dengan aku – semua pertanyaanmu yang model begitu selalu dalam konteks bercanda. Gimana aku mau curhat?” Elang hanya diam. “Betul juga….” Batinnya. “Aku pernah kok, nyoba untuk cerita sama kamu, tapi tanggapan kamu biasa aja. Malahan cenderung bercanda. Kamu bilang aku sok sentimental lah… lebay lah… lagi manja lah…” Kirana meneruskan penghakimannya terhadap Elang dan membuat lelaki itu kehilangan kata-kata. “Maaf ya, Ra…” Elang berkata pelan. Kirana mengangkat bahu, menghela nafas, lalu meraih lintingan ganja dari tangan Elang.

“Sebenarnya, kenapa kamu nggak pernah tanya tentang aku, El?” tiba-tiba Kirana bertanya setelah mengembalikan lintingan itu kepada Elang. Elang tersedak asap ganjanya sendiri. “Kamu kelihatannya baik-baik aja, Ra. Kamu aktif, sibuk. Kamu selalu bantu orang. Sama sekali nggak terpikir kalau kamu punya masalah berat.” Jawab Elang jujur. Kirana tersenyum kecil. “Kamu nggak pernah berpikir bahwa kesibukanku bantu orang itu mungkin aja datang dari latar belakang kesamaan pengalaman pribadi dengan orang tersebut?” tanyanya lagi. “Hmmm… sempat kepikir sih, tapi aku kira kamu memang suka aja ngurusin masalah orang. Hehehe…” Elang menjawab sambil mencoba mencairkan suasana. “Sialan kamu! Kamu mau bilang aku kepo??” Kirana meninju bahu lelaki itu sambil tertawa kecil.

“Tapi… apa hubungannya antara masa lalu kamu dengan ganja? Jangan-jangan ganja kamu jadikan pelarian ya, Ra?” Elang bertanya, sedikit menuduh. Kirana mendengus, “Hmph! Nggak lah… Salah satu temanku yang nolong aku waktu hampir OD valium yang nyaranin. Dia bilang, kalau urusannya cuma pengen bisa tidur enak dan makan enak, lebih baik aku ngisep selinting aja. Jangan menggantungkan diri sama anti-depressant atau obat tidur. Takutnya malah kecanduan obat.” Jelas Kirana. “Dan karena aku punya kecenderungan untuk bunuh diri atau melukai diri, punya sebotol valium atau segepok anti-depressant di tangan bukan hal yang bijak. Dan kejadiannya memang begitu ‘kan? Begitu suicide tendency-ku kambuh, yang pertama aku lakukan waktu itu ya nenggak isi botol valium itu.” Lanjut Kirana. Elang mendengarkan tanpa berkomentar. “Sehabis nolongin aku, temenku tu ngasih selinting buat aku simpan dan dipakai kalau perlu. Jadi, selinting ganja yang dikasih temanku itu akhirnya menyelamatkan nyawaku…” Kata Kirana lagi.

“Sekarang, kalau aku merasa depresiku mulai kambuh, aku minta selinting sama kamu. Cukup selinting aja, dan aku akan jadi lebih tenang.” Ujar Kirana. Perempuan itu memang beberapa kali menanyakan kepada Elang apakah dia punya “kuncian”, begitu istilah yang dipakainya. Biasanya Elang selalu punya. Dan biasanya pula mereka kemudian akan berbagi lintingan itu. Tapi Elang tidak pernah bertanya lebih jauh. Tidak pernah curiga dan tidak pernah merasa perlu untuk mempertanyakan.

“Jadi… mulai sekarang kamu sudah tahu, kalau aku tanya apa kamu punya kuncian, itu tandanya aku sedang mulai memasuki tahap awal depresi. Tapi cuma kalau aku yang minta lho, El… Kalau aku ditawari dan mau, itu belum tentu karena aku depresi. Itu sih karena aku juga lagi kepengen aja. Hehehe…” Kirana berkata sambil tertawa kecil. Elang ikut tertawa.

“Ra, maaf ya kalau aku selama ini nggak peka…” ujar Elang.
“Ah… nggak apa-apa, El… kamu cowok, mana bisa peka sama hal-hal kayak gitu juga. Seharusnya aku juga nggak berharap macem-macem sih… Sorry ya, aku tadi ngomel-ngomel gitu…” jawab Kirana tak enak hati.
“Nggak apa, Ra… aku jadi tahu yang sebenarnya. Selama ini aku merasa, aku kenal kamu. Tahu banyak tentang kamu… tapi ternyata hal yang paling penting dalam diri kamu malah yang aku nggak tahu…” ujar Elang sedikit sedih.
“Hal penting apa?” tanya Kirana.
“Beratnya beban trauma kamu, Ra…” jawab Elang
“Kalau kamu tahu sejak dulu, memangnya apa yang akan kamu lakukan? Hanya jadi pendengar aja ‘kan? Belum terlambat kok, El…” Kirana tersenyum.
“Yaaa…. Setidaknya ‘kan aku bisa belain kamu, kalau kamu lagi curhat…” ujar Elang lagi.
“Yang perlu dibela itu siapa…?” Kirana menjawab. Elang tertegun. “Aku cuma perlu didengerin tanpa dihakimi kok, El… nggak perlu dibela…”
Elang mengacak rambut Kirana sambil tersenyum, “Selinting lagi ya? Berdua…” ujarnya sambil mengeluarkan peralatannya. Kirana tertawa.

No comments:

Post a Comment