Kirana memperhatikan
jemari trampil Elang yang bermain dengan lincah. Dia selalu kagum melihat
betapa cepat kerja jemari tersebut dan hasilnya begitu rapi. Sejurus kemudian selinting ganja telah siap
untuk dihisap.
“Nih…” Elang
menyodorkan lintingan itu kepada Kirana.
“Kamu dong yang bakar…”
ujar Kirana. Elang menarik kembali tangannya, membakar lintingan itu,
mengisapnya dua kali, baru kemudian menyodorkannya kembali kepada Kirana. Perempuan itu menyambut, mengisapnya
dalam-dalam sebelum mengembalikan lintingan itu kepada Elang. Keduanya duduk
bersandar pada dinding di atap gedung tinggi sambil memandangi senja yang turun
sambil berbagi hisapan.
“Kenapa ganja dilarang
ya?” Kirana memecah kesunyian.
“Karena pemerintah
terlalu paranoid…” sahut Elang dengan mata terpejam.
“Padahal kita tahu, di
Aceh tanaman ini dipakai jadi bumbu masak. Sudah berpuluh tahun pula…” ujar
Kirana lagi.
“Yaaa…. Pemerintah terlalu
paranoid…. Dan bodoh. Itu saja.” Jawab Elang lagi.
“Kamu pernah merasa
kecanduan ganja nggak sih?” tanya Kirana tiba-tiba.
Elang membuka matanya
dan menoleh, “Nggak pernah… Aku rasa yang ngaku-ngaku kecanduan ganja itu
mengada-ada sih…” jawabnya. “Kamu sendiri, kenapa suka?” tanya Elang.
“Ah, sesekali aja kok.
Kalau lagi kepengen…” Kirana berkilah. “Yeah well… sama aja ‘kan? Artinya kamu
suka, meskipun nggak doyan… Hehehe…” goda Elang sambil meninju bahu Kirana.
“Panjang ceritanya….” Ujar
Kirana sambil menyalakan rokoknya.
“Kamu nggak pernah
cerita sama aku lho… soal yang satu ini.” Elang mencoba mengorek. Kirana
menoleh kepada Elang. Bibirnya sedikit terbuka seperti hendak mengucapkan
sesuatu, tapi ragu… lalu perempuan itu mengalihkan pandangannya ke langit…
“Aku dulu pernah
insomnia berat karena post traumatic stress disorder. Nggak bisa tidur, nggak
mau makan. Dokter kasih aku valium, tapi malah aku tenggak sekaligus sampai
nyaris mati…” Kirana bercerita dengan pandangan menerawang ke langit senja yang
mulai bersemu jingga keunguan. Elang tertegun.
Tiga tahun mereka
berteman baik. Elang selalu merasa dia tahu banyak tentang Kirana, tapi senja
itu dia baru sadar… ternyata banyak yang tak diketahuinya tentang perempuan
itu. Masa lalunya. Pengalaman pahitnya. Perjuangannya. Banyak hal tentangnya…
“Aku punya masalah
dengan suicide tendency dan self-harming tendency, El…” kata-kata
Kirana tiba-tiba mengembalikan Elang ke realita. Ke atap gedung di mana mereka
sedang duduk bersama.
“Kamu kok nggak pernah
cerita sama aku soal itu, Ra?” Elang bertanya, “Apa aku nggak bisa dipercaya?
Atau kamu memang belum mau cerita?” lanjutnya.
Kirana menghela nafas, “Bukan
gitu, El… Aku orangnya nggak gampang curhat. Dan nggak semua orang suka
dijadikan tempat curhat…” jelasnya, “Kamu… sibuk dengan duniamu sendiri. Kamu
punya masalah sendiri dan kamu sepertinya sudah kebanyakan perkara yang ganggu
pikiranmu. Aku nggak enak aja kalau mau curhat.” Elang tertegun.
“Kok gitu sih? Padahal
aku banyak cerita sama kamu, Ra. Seharusnya ‘kan kamu nggak usah disuruh juga
cerita aja sama aku dong!” Elang menukas dengan nada suara tidak rela.
“Iya, tapi aku selalu
tanya sama kamu…. Setiap kali aku lihat mukamu kusut, aku pasti tanya - ada apa
– atau – kamu kenapa – Kamu nggak pernah tanya aku, El…” Jawaban Kirana sungguh
di luar dugaan. Elang terdiam. Mencoba mengingat-ingat. Berpikir keras mencoba
mengingat semuanya.
“Tiga tahun, El… nggak
sekali pun kamu pernah bertanya serius – ada apa dengan aku – semua pertanyaanmu
yang model begitu selalu dalam konteks bercanda. Gimana aku mau curhat?” Elang
hanya diam. “Betul juga….” Batinnya. “Aku pernah kok, nyoba untuk cerita sama
kamu, tapi tanggapan kamu biasa aja. Malahan cenderung bercanda. Kamu bilang
aku sok sentimental lah… lebay lah… lagi manja lah…” Kirana meneruskan
penghakimannya terhadap Elang dan membuat lelaki itu kehilangan kata-kata. “Maaf
ya, Ra…” Elang berkata pelan. Kirana mengangkat bahu, menghela nafas, lalu meraih
lintingan ganja dari tangan Elang.
“Sebenarnya, kenapa
kamu nggak pernah tanya tentang aku, El?” tiba-tiba Kirana bertanya setelah
mengembalikan lintingan itu kepada Elang. Elang tersedak asap ganjanya sendiri.
“Kamu kelihatannya baik-baik aja, Ra. Kamu aktif, sibuk. Kamu selalu bantu
orang. Sama sekali nggak terpikir kalau kamu punya masalah berat.” Jawab Elang
jujur. Kirana tersenyum kecil. “Kamu nggak pernah berpikir bahwa kesibukanku
bantu orang itu mungkin aja datang dari latar belakang kesamaan pengalaman
pribadi dengan orang tersebut?” tanyanya lagi. “Hmmm… sempat kepikir sih, tapi
aku kira kamu memang suka aja ngurusin masalah orang. Hehehe…” Elang menjawab
sambil mencoba mencairkan suasana. “Sialan kamu! Kamu mau bilang aku kepo??”
Kirana meninju bahu lelaki itu sambil tertawa kecil.
“Tapi… apa hubungannya
antara masa lalu kamu dengan ganja? Jangan-jangan ganja kamu jadikan pelarian
ya, Ra?” Elang bertanya, sedikit menuduh. Kirana mendengus, “Hmph! Nggak lah…
Salah satu temanku yang nolong aku waktu hampir OD valium yang nyaranin. Dia
bilang, kalau urusannya cuma pengen bisa tidur enak dan makan enak, lebih baik
aku ngisep selinting aja. Jangan menggantungkan diri sama anti-depressant atau
obat tidur. Takutnya malah kecanduan obat.” Jelas Kirana. “Dan karena aku punya
kecenderungan untuk bunuh diri atau melukai diri, punya sebotol valium atau
segepok anti-depressant di tangan bukan hal yang bijak. Dan kejadiannya memang
begitu ‘kan? Begitu suicide tendency-ku kambuh, yang pertama aku lakukan waktu
itu ya nenggak isi botol valium itu.” Lanjut Kirana. Elang mendengarkan tanpa
berkomentar. “Sehabis nolongin aku, temenku tu ngasih selinting buat aku simpan
dan dipakai kalau perlu. Jadi, selinting ganja yang dikasih temanku itu
akhirnya menyelamatkan nyawaku…” Kata Kirana lagi.
“Sekarang, kalau aku
merasa depresiku mulai kambuh, aku minta selinting sama kamu. Cukup selinting
aja, dan aku akan jadi lebih tenang.” Ujar Kirana. Perempuan itu memang
beberapa kali menanyakan kepada Elang apakah dia punya “kuncian”, begitu
istilah yang dipakainya. Biasanya Elang selalu punya. Dan biasanya pula mereka
kemudian akan berbagi lintingan itu. Tapi Elang tidak pernah bertanya lebih
jauh. Tidak pernah curiga dan tidak pernah merasa perlu untuk mempertanyakan.
“Jadi… mulai sekarang
kamu sudah tahu, kalau aku tanya apa kamu punya kuncian, itu tandanya aku
sedang mulai memasuki tahap awal depresi. Tapi cuma kalau aku yang minta lho,
El… Kalau aku ditawari dan mau, itu belum tentu karena aku depresi. Itu sih
karena aku juga lagi kepengen aja. Hehehe…” Kirana berkata sambil tertawa kecil.
Elang ikut tertawa.
“Ra, maaf ya kalau aku
selama ini nggak peka…” ujar Elang.
“Ah… nggak apa-apa, El…
kamu cowok, mana bisa peka sama hal-hal kayak gitu juga. Seharusnya aku juga
nggak berharap macem-macem sih… Sorry ya, aku tadi ngomel-ngomel gitu…” jawab
Kirana tak enak hati.
“Nggak apa, Ra… aku
jadi tahu yang sebenarnya. Selama ini aku merasa, aku kenal kamu. Tahu banyak
tentang kamu… tapi ternyata hal yang paling penting dalam diri kamu malah yang
aku nggak tahu…” ujar Elang sedikit sedih.
“Hal penting apa?”
tanya Kirana.
“Beratnya beban trauma
kamu, Ra…” jawab Elang
“Kalau kamu tahu sejak
dulu, memangnya apa yang akan kamu lakukan? Hanya jadi pendengar aja ‘kan?
Belum terlambat kok, El…” Kirana tersenyum.
“Yaaa…. Setidaknya ‘kan
aku bisa belain kamu, kalau kamu lagi curhat…” ujar Elang lagi.
“Yang perlu dibela itu
siapa…?” Kirana menjawab. Elang tertegun. “Aku cuma perlu didengerin tanpa
dihakimi kok, El… nggak perlu dibela…”
Elang mengacak rambut
Kirana sambil tersenyum, “Selinting lagi ya? Berdua…” ujarnya sambil
mengeluarkan peralatannya. Kirana tertawa.
No comments:
Post a Comment