Saturday, 3 November 2012

Yang Tersembunyi IV



Aku dan lelaki itu duduk di atas pasir putih, beralaskan kain. Pantai tanpa nama ini sepi. Bersih. Aku suka. Dia pun suka. Deburan ombak adalah satu-satunya musik latar yang terdengar. Kami duduk menanti senja datang sambil menikmati angin laut yang sejuk. Aku mencuri pandang ke arah lelaki yang duduk di sisiku. Pandangannya menerawang ke arah laut lepas. Sepertinya sangat menikmati suasana dan kebisuan yang ada. Aku juga diam-diam menikmati suasana yang ada. Hening. Laut. Angin. Hawa asin. Langit senja. Debur ombak. Dia….

Dia : Sudah berapa lama kita berteman?
Tiba-tiba suaranya memecah keheningan…
Aku : Hmm? Berapa lama ya….
Aku tiba-tiba kesulitan mengingat.
Aku : Sudah berapa orang mantan pacarmu yang aku kenal, coba?
Lanjutku sambil berpikir. Dia tertawa.
Dia : Sialan kamu!
Aku : Lebih mudah menghitungnya dengan cara begitu. Coba kulihat… sejak perkenalan pertama kita… pacarmu waktu itu putus denganmu setelah kita 6 bulan berteman. Lalu kamu jomblo sekitar 3 bulan. Yang berikutnya, kamu pacaran selama 4 bulan, setelah itu selang sebulan setelah putus kamu punya lagi. Yang itu berapa lama ya? 3 bulan? Ya… 3 bulan… lalu…
Dia : Stop! Stop! Hitung saja dari pertama kali kita berkenalan, apa susahnya?
Aku : Kurang asik!
Jawabku sambil tertawa.
Aku : Lanjut dulu! Setelah putus dengan pacarmu yang 3 bulan, seminggu kemudian kamu pacaran lagi dan putus setelah 5 bulan. Sejak itu sampai sekarang sudah 8 bulan kamu jomblo. Ayo hitung!
Dia : Sembarangan!
Aku : Aaaah, masa menghitung segitu saja sulit? 29 bulan tepatnya. Berarti 2 tahun 5 bulan ya?
Dia : Aah, ternyata baru masuk tahun ketiga? Belum begitu lama ya? Rasanya seperti sudah puluhan tahun….
Aku : Kenapa harus seperti itu sih caramu berpikir? Ini SUDAH tahun ketiga kita berteman baik… tapi kamu benar, rasanya seperti sudah lama sekali ya? Aneh…
Dia : Iya… aneh memang.

Aku menyalakan rokokku. Dia menadahkan tangannya tanda ingin meminjam pemantik. Sejurus kemudian kami sama-sama diam sambil mempermainkan asap. Langit semakin menjingga. Matahari semakin turun.

Dia : Bagus ya….?
Ujarnya dengan suara setengah bermimpi. Aku mengangguk.
Dia : Aku selalu suka tempat ini, karena sepi.
Aku : Hmmm… ya memang pantai ini bagus sekali. Belum tersentuh dan belum komersil. Semoga tetap seperti ini untuk jangka waktu lama.
Dia : Semoga saja….

Lalu kami terdiam lagi…

Dia : Hey!
Tiba-tiba dia mengejutkanku.
Aku : Aduh! Kaget…
Dia : Aku baru sadar sesuatu tentangmu…
Ujarnya sambil beringsut duduk menghadapku.
Aku : Apa?
Dia : Sejak putus dengan pacarmu dulu itu, kamu tidak pernah pacaran lagi. Sampai sekarang pun. Kenapa?
Aku : Tidak apa-apa…
Dia : Lelaki yang sering kamu ceritakan padaku itu, bagaimana?
Lanjutnya dengan penuh semangat. Aku hanya menghela nafas.
Aku : Entah…
Dia : Ada apa?
Aku : Dia sibuk mengejar perempuan lain.
Dia : Mungkin kamu harus memberikan signal yang jelas untuk dia.
Aku : Entahlah… Rasanya sudah cukup jelas.
Dia : Kalau sudah jelas, kenapa dia tidak merespon?
Aku : Seperti yang aku bilang tadi, dia sibuk mengejar perempuan lain. Aku sepertinya tak terlihat olehnya.
Dia : Hmmm…. Mungkin kamu harus lebih sering melewatkan waktu dengannya. Sepertinya kamu lebih sering denganku.
Aku hanya mengangkat bahu. Aaah…. Sudahlah….

Langit senja yang cerah tak berawan. Matahari yang semakin merendah. Sempurna…. Aku larut dengan pikiranku…

“Bagaimana bisa kamu seperti tak pernah melihatku, sedangkan aku ada di sini… tepat di sisimu… Aku melakukan apapun untukmu. Malam-malam melelahkan saat aku tak bisa tidur, pikiranku dipenuhi oleh dirimu. Rindu kepadamu. Kamu tak tahu... Kamulah yang aku tunggu... Sementara kamu… aku tak pernah tahu, apa yang ada di kepalamu…” Aku membatin….

Aku : Kamu sendiri bagaimana? Tidak seperti biasanya kamu “kosong” sampai lama begini? Ada apa?
Dia : Hmmhh… Aku menunggu seseorang…
Aku : Kenapa ditunggu? Ada di mana dia?
Lelaki itu menoleh kepadaku, lalu tersenyum….
Dia : Dekat-dekat saja sih, sebenarnya… tapi sepertinya jiwanya ada di tempat lain. Apalagi hatinya… Sepertinya sudah dimiliki orang lain.
Aku : Oya? Kamu tahu dari mana?
Dia : Dari cerita-ceritanya…
Aku : Ooh… Mungkin kamu sebaiknya bilang saja… segera.
Dia : Saatnya belum tepat.
Aku : Kenapa?
Dia : Karena dia juga sedang menunggu seseorang. Mungkin sebaiknya aku tunggu sampai dia dapat kepastian dari lelaki itu…
Aku : Kenapa harus begitu? Bukankah lebih baik jika kamu memberitahu terlebih dahulu? Bisa saja lelaki yang ditunggunya itu kamu…
Dia : Hmmm…. Teorimu menarik, tapi sepertinya tidak valid.
Aku : Kenapa?
Dia : Banyak hal yang membuatku merasa bahwa bukan aku yang sedang ditunggunya…
Aku : Tapi kamu tidak akan pernah tahu jika tidak mencoba untuk mengungkapkan apa yang kamu rasakan untuknya…
Dia : Memang! Tapi aku rasa sebaiknya aku menunggu…
Aku : Sampai kapan?
Dia : Entah… sampai lelaki itu memastikan semuanya.
Aku : Bagaimana jika sampai bertahun-tahun ke depan lelaki itu tidak member kepastian apapun kepadanya? Apa kamu tetap akan menunggu?
Dia : Resiko…
Aku : Buang-buang waktu saja…
Dia : Biarlah… nanti semua ada saatnya yang tepat… tapi tidak sekarang.
Aku lagi-lagi hanya mengangkat bahu…

Langit sudah berubah keunguan. Matahari sudah bersentuhan dengan horizon. Ada sedikit damai, walau sedikit terasa semu… Lelaki itu larut dengan pikirannya…

“Sampai kapan kamu akan menunggunya, sayang….? Sementara aku di sini hanya bisa menunggu waktu yang tepat untukku menyerahkan hatiku kepadamu… Aku menunggumu, manis... Selalu.... Kenapa kamu seolah tak bisa melihatku, padahal kita sering bersama… Padahal aku ada di sisimu...” Lelaki itu membatin…

[Jakarta, 3 November 2012]

No comments:

Post a Comment