Wednesday, 31 October 2012

Lewat Pukul Tiga Pagi



Lelaki itu duduk mencakung di pelataran Rumah Sakit. Wajahnya terlihat diliputi kebingungan. Aku duduk di sebelahnya sambil menyalakan rokokku dan mengepulkan asap tipisnya.

Aku: Jadi, kamu sudah mengerti?
Dia: Mengerti? Apa yang bisa aku mengerti?
Aku: Semua ini…
Ujarku sambil mempermainkan asap rokok, mengepulkannya menjadi gelang-gelang asap tipis.

Dia: Ada apa ini?
Aku: Tidak ada apa-apa. Hanya sebuah proses yang harus kamu lalui. Itu saja.
Dia: Aku suka aku yang sekarang. Kakiku tidak sakit lagi.
Aku: Yaaah memang… Sudah tidak ada lagi rasa sakit ‘kan?
Ujarku sambil tersenyum menatap lelaki itu. Wajahnya sumringah. Cerah. Pucat…. Tetapi cerah.

Dia: Senangnyaaa… Kemarin kakiku kaku, tak bisa digerakkan. Aku nyaris tak bisa berjalan. Sakit sekali rasanya. Tapi sekarang…..
Lelaki itu melompat-lompat riang. Melompat lalu berjingkat, kemudian melompat lagi.

Dia: Aku juga tidak batuk-batuk lagi! Aku sudah sembuh!!!
Aku tertawa melihat kelakuannya yang hampir mirip dengan anak umur 5 tahun.
Sejurus kemudian lelaki itu kembali duduk di sampingku setelah puas melompat-lompat. Pelataran Rumah Sakit ini agak tinggi. Kami bisa melihat orang-orang yang semakin banyak berdatangan, padahal malam sudah beranjak pagi.

Aku: Pukul berapa sekarang?
Dia: Hampir pukul tiga pagi….
Ujarnya sambil melihat arlojinya.

Aku: Hmmmm…. Semakin kemari, semakin banyak yang datang… Hebat… Hebat sekali!
Gumamku pelan.

Dia: Ada apa sebenarnya? Mengapa orang terus berdatangan?
Aku: Mereka ingin melihat seseorang di dalam ruangan itu…
Ujarku sambil menunjuk dengan daguku…. Lelaki itu mengikuti kemana dagu dan pandanganku mengarah. Belum sempat dia mengucapkan kalmat berikutnya, tiba-tiba dua orang perempuan keluar dari ruangan itu sambil menangis tersedu. Dua orang lelaki tampak dengan sigap memeluk mereka dan terdengar bisik-bisik mencoba menenangkan mereka… “Ikhlas mbak… ikhlaskan….” – Kedua perempuan itu mengangguk meski masih tersedu. Tak lama kemudian, satu per satu orang yang tadinya berada di dalam ruangan itu keluar. Mereka duduk di teras sambil termangu.

Dia: Ada apa dengan mereka? Mengapa perempuan-perempuan itu menangis? Dan mengapa lelaki-lelaki itu diam termangu?
Aku menghela nafas. Sedikit kesal, aku menoleh kepadanya….

Aku: Lupa?
Dia: Lupa apa?
Aku: Lupa siapa yang ada di dalam sana?
Dia: Siapa? Aku mau lihat!
Ujarnya sambil beranjak berdiri, tapi aku tahan tangannya sambil menggelengkan kepala.

Aku: Tidak usah. Kamu di sini saja. Duduk denganku.
Dia: Ah! Kamu menyebalkan!
Ujarnya merajuk seperti anak kecil. Aku diam. Dia diam, tapi tak memaksa pergi.

Aku: Sudah ingat sekarang?
Dia: Tidak ingat apa-apa!
Aku: Benarkah?
Lelaki itu mengangguk. Aku menghela nafas…. “jiwa baru….” Ujarku dalam hati, “selalu saja semuanya seperti ini. Merepotkan! Aku bukan pengasuhnya!” aku merutuk dalam hati.

Suasana di sekitar ruangan itu masih ramai. Mereka yang baru datang memeluk yang sudah terlebih dulu tiba. Yang lelaki saling berjabat tangan. Yang perempuan berbagi bahu untuk menangis. Hingga akhirnya sebuah peti dibawa keluar dari ruangan tersebut. Para lelaki tergopoh-gopoh mengangkat peti kayu tersebut dan memasukkannya ke dalam ambulance berwarna hitam.

Aku menoleh, menatap lelaki yang duduk di sampingku. Matanya tak lepas mengawasi pemandangan di teras ruangan itu. Namun bibirnya tak bersuara. Pintu ambulance itu ditutup. Aku beranjak berdiri, mengibaskan kotoran di celana jeans-ku, lalu mengulurkan tanganku kepadanya…

Aku: Yuk! Sudah waktunya…
Lelaki itu mendongak menatapku.

Dia: Mau kemana kita?
Tanyanya sambil meraih tanganku dan menggenggamnya.

Aku: Pulang…
Dia: Ke mana?
Aku: Ke tempat di mana tidak ada lagi kesedihan, rasa sakit dan kemarahan…
Ujarku sambil tersenyum. Wajahnya sontak cerah. Senyumnya lebar. Lalu kami berjalan bersama menembus malam, meninggalkan pelataran kamar jenazah itu di tengah embun yang mulai turun.

“No more pain….” Aku berbisik di telinganya, lalu dia mempereratkan genggamannya….


"Ada cerita tentang aku dan dia, dan kita bersama saat dulu kala. 
Ada cerita tentang masa yang indah. 
Saat kita berduka, saat kita tertawa....
--- Semua Tentang Kita | Peterpan ---
 
[Jakarta, 01 November 2012 - untuk Jusep Kesuma, you'll be missed...]

No comments:

Post a Comment