Saturday, 29 September 2012

Percakapan Dua Jiwa

Malam itu cerah tak berawan. Langit berhias bulan purnama dan angin berhembus perlahan. Kami duduk di bawah langit malam sambil memandang hamparan lampu kota yang membentang.

Aku: Jadi bagaimana?
Dia: Apanya?
Aku: Keputusanmu...
Dia: Entah...

Dia menyalakan rokoknya, lalu kemudian menghembuskan asap yang tipis ke udara. AKu merogoh saku celanaku, mencari pemantik untuk kemudian juga menyalakan rokokku.

Aku: Kamu harus periksa. Segera.
Dia: Buat apa? Semua orang toh akan mati nantinya.
Aku: Tapi jika bisa ditangani dulu, tak ada salahnya 'kan berusaha?
Dia: Malas...

Aku menoleh. Melihat dia yang duduk di sampingku sambil merokok. Bergaya seolah tak peduli dengan sekelilingnya. "Laki-laki egois!" pikirku. Tapi sejujurnya aku tidak tahu, apakah dia sebenarnya egois, penakut, pengecut atau putus asa.

Aku: Kamu takut?
Dia: Bukan takut, aku pasrah.
Aku: Pasrah tanpa usaha?
Dia: Aku minum obat kok!
Aku: Obat yang kamu selalu lupa untuk bawa?
Dia: Tapi 'kan ada obatnya...
Aku: Kalau terus-terusan lupa, apa gunanya?
Dia: Sesekali saja lupa...
Aku: Sesekali bagaimana? Terlalu sering kamu lupa!
Dia: Sudah ah! Bahas yang lain saja... Jangan terlalu dikhawatirkan. Aku baik-baik saja...

Lalu lagi-lagi kami larut dalam diam. Entah apa yang dipikirkannya. Aku hanya tahu isi kepalaku sendiri. Dia lalu terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri sambil mempermainkan asap rokok di mulutnya. Dia tidak pernah tahu bahwa sejak kejadian itu, aku tak pernah bisa tidur nyenyak. Bermalam-malam aku terjaga memikirkannya, hingga tanpa sadar airmata menetes di luar kemauanku. Aku yang sudah terlalu sering kehilangan, rasanya tak suka memikirkan konsekuensi yang dihadapinya. Tapi dia yang masih muda itu, terlalu egois untuk memikirkan perasaanku dan perasaan orang-orang di sekitarnya. Bukan aku menantang maut, tapi jika kita bisa mengusahakan yang terbaik sebelum terjadi yang terburuk, mengapa tidak? Dia merasa dirinya bersikap pasrah, tapi menurutku dia bersikap egois. Dan sialnya, tak satupun kata-kataku yang bisa mengubah pikirannya untuk saat ini. Aku hilang akal... Tak tahu lagi harus bagaimana bicara dengannya...

Dia: Pulang?
TIba-tiba dia mengejutkan aku yang sedang bermain dengan pikiranku sendiri.
Aku: Sekarang?
Dia: Iya... Belum mau?
Aku: Nanti dulu... Fajar belum tiba...

Dia pun menyandarkan kepalanya di pundakku. Aku? Diam-diam menghapus air mataku...

1 comment: