Friday 6 January 2017

Dancing is my remedy

Photographed by Poppy Louise - Always_A_Rebel
Banyak orang seringkali mencibir atau sinis dan bahkan menertawakan mereka yang hobby dansa atau menari. Terutama para lelaki. Saya tidak bicara dansa disko ala dugem yang hanya sekedar mendengarkan irama musik lalu bergoyang sesuai ritme. Saya bicara soal dansa yang memiliki pakem dan perlu waktu untuk mempelajarinya, seperti tarian Latin misalnya. Teman-teman lelaki saya sering seolah jengah jika saya ajak ikut bergabung untuk belajar. Kebanyakan dari mereka menganggap laki-laki yang suka dansa biasanya kurang macho atau juga cenderung gay. Bahkan kegiatan seperti dansa pun memiliki stigma! Padahal untuk bisa menguasai satu jenis dansa tidaklah mudah. Apalagi untuk laki-laki! Stamina yang prima juga dibutuhkan karena dalam beberapa variasi laki-laki harus bisa mengangkat pasangan dansanya dengan satu tangan!

Saya sendiri sudah ikut kegiatan menari sejak SD. Dimulai dari tarian Sunda, lalu beralih ke hip hop dance sampai akhirnya sekarang belajar Salsa dan Bachata. Ibu saya mendukung keinginan saya untuk ikut ekstra kurikuler tari Sunda dengan alasan bahwa seorang penari biasanya memiliki postur tubuh yang bagus. Duduk dan berdirinya tegak. Menari dianggap ibu saya akan membantu saya membiasakan diri dengan postur tubuh yang baik, tegak dan elegan.

Yang tidak banyak diketahui orang adalah bahwa bagi saya dansa merupakan sebuah bentuk terapi kejiwaan. Sebagai seorang yang pernah jatuh ke dalam periode depresi, saya disarankan oleh terapis saya untuk mencari bentuk coping menchanism dan channeling yang sesuai dengan minat saya. Saya mencoba berbagai macam hal. Menulis adalah salah satu bentuk channeling yang saya rasa cocok untuk saya. Tapi seiring waktu, saya mulai merasa justru akhirnya saya hanya bisa menulis bagus ketika sedang depresi. Begitu masa depresi berakhir, saya jadi tidak produktif. Well, jika bicara soal channeling mungkin memang begitulah seharusnya. Tapi saya tidak ingin kegiatan kreatif saya hanya sebatas itu saja. Saya pun mulai mencari alternatif lain.

Salsa bukanlah tarian Latin yang baru bagi saya. Di tahun 2003 saya sudah pernah belajar, tapi kemudian terhenti begitu saja. Ketika saya lagi-lagi masuk ke dalam periode depresi, saya mulai berpikir bahwa mungkin belajar Salsa adalah alternatif channeling bagi saya. Menari hampir sama seperti berolah raga, terutama untuk bentuk tarian tertentu. Olah raga akan melepas endorphine dan endorphine membuat saya merasa senang.

Akhirnya saya berhasil menemukan komunitas Salsa di Jakarta dan mulai belajar. Tidak hanya mempelajari teorinya di kelas, tapi saya juga cukup rajin datang ke Latin Night untuk berlatih dansa dengan banyak orang. Meskipun kemampuan saya saat itu masih terbatas, tapi saya tetap datang ke Latin Night. Instruktur saya selalu menganjurkan untuk tidak berdansa hanya dengan satu orang karena setiap "tangan" memiliki keunikan dan perbedaan. Saya harus juga belajar "membaca" tangan banyak orang.

Ketika kembali masuk ke periode depresi, saya tetap memaksakan diri untuk masuk kelas dan datang ke Latin Night. Memerangi rasa anti-social dan keinginan untuk diam di kamar saja bukanlah hal yang mudah. Tapi saya terus paksakan sampai akhirnya saya merasa bahwa setiap kali saya datang ke kelas atau ke Latin Night, saya merasa sangat senang. Sekarang setiap kali saya merasakan emosi negatif mulai merangsek masuk, yang perlu saya lakukan hanyalah berdansa!

Perubahan pun mulai terlihat. Suami saya mengomentari bahwa saya selalu terlihat senang ketika berdansa. Mood saya pun menjadi lebih baik dan seimbang. Tidak lagi mudah terpancing emosi negatif. Mungkin persediaan endorphine di dalam tubuh saya sekarang cukup banyak untuk menutup emosi negatif yang mengganggu. Buat saya, dancing is my remedy. Remedy for depression. Remedy for heartbreak. Remedy for gloominess. Remedy for everything....


No comments:

Post a Comment